ANALISIS
EFEKTIVITAS MGMP/ KKG
Disusun Oleh:
NAMA : WINA NURMALA (82321415065)
YATI
RESMIATI (82321415066)
1.1
Latar Belakang
Penelitian
Pendidikan
merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat
berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif.
Menyadari akan hal tersebut Pemerintah sangat serius menangani bidang
pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi
penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam
pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan, guru sebagai pendidik
profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis yaitu
sebagai perencana, pelaksana dan penentu tercapainya tujuan organisasi lembaga
pendidikan. Dalam perkembangannya, fungsi, peran, dan kedudukan guru terkendala
oleh berbagai hal, antara lain distribusi guru yang tidak merata,
pengangkatan/penempatan yang bercorak primordial, mobilitas guru yang sangat
terbatas di lingkup daerah tertentu, peningkatan profesional guru terhambat
serta terpengaruh suhu politik daerah. Kondisi guru yang demikian dapat
menimbulkan persoalan yang menghambat peningkatan mutu pendidikan secara
nasional.
Pada
dasarnya tingkat kompetensi professional guru dipengaruhi oleh faktor dari
dalam guru itu sendiri yaitu bagaimana guru bersikap terhadap tugas/ pekerjaan
yang diembannya. Kinerja guru yang tinggi sangat diperlukan dalam setiap usaha
kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya dengan guru yang
memiliki kinerja yang rendah akan sangat sulit mencapai hasil yang baik dan
akan berdampak pada kinerja guru. Masalah kinerja guru ini penting sekali bagi
organisasi seperti pada sekolah-sekolah baik pada sekolah dasar (SD) sekolah
menengah pertama (SMP), maupun pada sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah
menengah kejuruan (SMK).
Kinerja
yang optimal merupakan harapan semua pihak namun kenyataan dilapangan
menunjukkan masih ada beberapa guru yang kinerjanya belum optimal. Pengembangan
sumber daya manusia pendidik, khususnya pengembangan profesional guru,
merupakan usaha mempersiapkan guru agar memiliki berbagai wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan memberikan rasa percaya diri untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai petugas profesional. Indikasi peningkatan profesionalisme
guru dalam pembelajaran dapat diwujudkan melalui pemberdayaan potensi dan
prestasi guru. Seorang guru dikatakan profesional apabila kompetensinya
diwujudkan dalam kinerja secara utuh, tepat dan efektif. Hal ini dikarena guru
yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai
metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang
tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan.
Adapun
berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kinerja guru antara lain
dengan peningkatan kompetensi yang berkaitan dengan peran dan tugas guru
sebagai pendidik. Dalam hal ini pemerintah juga telah mengupayakan berbagai
cara dalam peningkatan kualitas guru, antara lain melalui
pelatihan,forummusyawarah, seminar, dan lokakarya bahkan melalui peningkatan
jenjang pendidikan formal yang diperlukan sebagai persyaratan minimal
kualifikasi dengan cara pemberian beasiswa untuk mengikuti pendidikan yang
lehih tinggi. Sehingga upaya peningkatan kualitas guru perlu terus dibenahi dan
ditingkatkan secara maksimal dan berkesinambungan sesuai dengan kewenangannya.
Salah
satu upaya peningkatan kualitas guru melalui forum musyawarah yaitu melalui
program KKG/ MGMP. Program musyawarah
guru mata pelajaran (MGMP) merupakan wadah berkumpulnya para guru mata
pelajaran sejenis secara kolaboratif dalam satu wilayah tertentu
(kabupaten/kota) dalam rangka mengidentifikasi dan memecahkan masalah, menguji
coba dan mengembangkan ide-ide baru dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
Forum ini dipercaya menjadi salah satu media efektif untuk membina profesionalisme guru dalam
kerangka kegiatan oleh, dari dan untuk guru (Jalal, 2005:55). Pernyataan ini
mengandung makna bahwa program MGMP merupakan sebuah program untuk
mengembangkan inovasi, kreativitas, komunikasi, konsultasi, informasi, maupun
koordinasi diantara sesama guru-guru mata pelajaran sejenis dalam rangka
memperbaiki kualitas pembelajaran.
Ironisnya
selama ini MGMP dirasa belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Walaupun MGMP sudah dibentuk dan berjalan di hampir setiap kabupaten/kota,
pelaksanaan kegiatan ini sering kurang memadai sebagai forum untuk meningkatkan
mutu pembelajaran di sekolah dan sarana pembinaan profesionalisme guru. Sejalan
dengan kenyataan ini, Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK,
2006:1) telah mengidentifikasi bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan
ketidakefektifan forum MGMP ini, yaitu: (1) masih minimnya minat anggota untuk
mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh KKG; (2) terbatasnya sarana dan
prasarana yang menunjang program KKG; (3) terbatasnya dana untuk mengadakan
pelatihan ataupun pendidikan bagi anggota KKG; (4) masih minimnya tindak lanjut
terhadap beberapa program yang telah dilaksanakan (setelah pelatihan selesai,
anggota masih menerapkan metode pembelajaran yang konvensional); (5) anggota
KKG masih belum menguasai PTK dan belum mempunyai ketrampilan ICT sehingga
wawasan anggota masih sangat terbatas
Mengingat
berbagai kelemahan ini, Ditjen PMPTK sejak tahun 2006 berupaya meningkatkan
mutu pendidikan nasional melalui berbagai upaya pengembangan dan pembinaan
profesionalisme guru. Salah satu diantaranya adalah melaksanakan program
revitalisasi MGMP sebagai sarana pembinaan profesionalisme guru secara
berkesinambungan dengan menyediakan block grant sebagai pendukung implementasi
program tersebut. Block grant diberikan kepada kelompok-kelompok MGMP (seperti
halnya kelompok-kelompok MGMP di setiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah)
untuk mata pelajaran yang diujinasionalkan. Program revitalisasi MGMP merupakan
upaya untuk lebih memberdayakan forum MGMP yang selama ini kurang berfungsi dan
berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan upaya pembinaan
profesionalisme guru.
Bertolak
dari hal tersebut, diperlukan upaya-upaya peningkatan kemampuan guru terutama
dalam mengembangkan kurikulum pada satuan pendidikan yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya melalui suatu wadah yang di kenal dengan Kelompok Kerja Guru
(KKG). Untuk mewujudkannya, diperlukan pola dengan memanfaat wadah yang sudah
ada yang dapat memancing dan mendorong guru untuk meningkatkan profesionalisme
dan efektif dalam pembelajaran melalui kelompok kerja guru.
Atas
dasar uraian di atas, maka penulis merasa penting untuk mengkaji mengenai
Analisis Efektivitas MGMP/ KKG dalam Meningkatkan Kinerja Guru.
1.2
Perumusan
Masalah
1.2.1
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Mengapa
program KKG/MGMP yang telah berjalan selama ini kurang efektif dalam
meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru-guru dalam melakukan praktik
pembelajaran?
2.
Model
pengembangan profesionalisme guru seperti apa yang dapat diimplementasikan
secara efektif untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran?
3.
Bagaimana
efektivitas model tersebut guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru
dalam melakukan praktik pembelajaran?
1.3
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah yang dikemukakan diatas maka tujuan yang hendak dicapai
antara lain:
1.
Mengetahui
penyebab program KKG/MGMP yang telah berjalan selama ini kurang efektif dalam
meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru-guru dalam melakukan praktik
pembelajaran.
2.
Mengetahui
model pengembangan profesionalisme guru yang dapat diimplementasikan secara
efektif untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran
3.
Mengetahui
efektivitas model tersebut guna meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru
dalam melakukan praktik pembelajaran.
1.4
Kegunaan
Penelitian
Berdasarkan
tujuan yang telah ditetapkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi para akademis dan para praktisi pendidikan.
1.4.1
Manfaat Teoritis
:
a.
Menambah
khasanah ilmu pengetahuan serta memberi masukan dalam rangka penyusunan teori
atau konsep-konsep baru terutama untuk pengembangan pemikiran dalam memecahkan
permasalahan yang berhubungan dengan kinerja guru melalui program MGMP/ KKG
bagi para peneliti berikutnya.
b.
Bagi
sekolah, sebagai bahan kajian dalam manajemen pengelolaan sumber daya sekolah.
1.4.2
Manfaat Praktis
:
a.
Memberi
masukan kepada guru untuk selalu meningkatkan profesionalisme agar kinerjanya
lebih optimal melalui MGMP.
b.
Sebagai
salah satu acuan bagi sekolah – sekolah dalam pelaksanaan KKG untuk
meningkatkan mutu pendidikan
c.
Memberikan
masukan kepada sekolah dan diknas sebagai pertimbangan dalam menentukan
kebijakan yang berhubungan dengan mengembangkan mutu pelaksanan program KKG
sebagai wadah pengembangan guru profesional.
Gambar
1. Alur Kerangka Berpikir
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi KKG/MGMP
2.1.1
Pengertian
KKG/MGMP
Undang-undang
RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen mengamanatkan guru untuk memiliki
(i) kualifikasi akademik minimum S1/DIV, (ii) kompetensi sebagai agen
pembelajaran yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional
dan (iii) sertifikat pendidik. Agar guru dapat memiliki kompetensi sebagai agen
pembelajaran sebagaimana yang diamanatkan pada undang-undang tersebut di atas,
maka harus senantiasa meningkatkan kompetensinya secara terus menerus melalui
berbagai upaya antara lain melalui pelatihan, kegiatan karya tulis ilmiah,
pertemuan di kelompok kerja dan musyawarah kerja diantaranya melalui KKG/MGMP
(kelompok kerja guru).
Kelompok
Kerja Guru (KKG/MGMP) merupakan suatu wadah dalam pembinaan kemampuan
profesional guru, pelatihan dan tukar menukar informasi dalam satu mata
pelajaran tertentu sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan menurut Julia KKG/MGMP merupakan wadah dalam pembinaan profesional
guru yang dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi, bertukar pikiran dan berbagi
pengalaman, melaksanakan berbagai demonstrasi, atraksi dan simulasi dalam
pembelajaran. (Wisnu, http://askarbatuah.blogspot.com, 2 Desember 2011 ).
KKG/MGMP
(kelompok kerja guru)/MGMP (musyawarah guru mata pelajaran adalah wadah
kegiatan bagi guru SD/MI/SDLB ditingkat Kecamatan yang terdiri dari sejumlah
guru dari sejumlah sekolah dan mgmp untuk guru SMP/MTS dan SMA/MA di tingkat
kabupaten. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru, guru
diharapkan memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial dan professional. Khusus untuk KKG/MGMP sampai
saat ini ada beberapa KKG/MGMP yang belum memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja guru.
Keberadaan
kegiatan KKG/MGMP merupakan bagian yang integral dari perwujudan system
pembinaan kompetensi guru, yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan
peningkatan mutu pendidikan, kemampuan professional guru. Kegiatan KKG/MGMP
merupakan kegiatan yang sudah diprogramkan dari pembuat keputusan, dalam hal
ini pemerintah. Secara kontekstual dapat dikatakan bahwa pemerintah
mengharapkan kegiatan KKG/MGMP harus dijalankan sebagai upaya peningkatan
kompetensi guru. Karakteristik yang perlu dikembangkan disetiap daerah perlu
disesuaikan dengan situasi dan kondisi sehingga KKG/MGMP dapat bermanfaat bagi
guru, sehingga meningkatkan nilai kompetensi yang dimiliki seorang guru yang
muaranya akan memunculkan kualitas pendidikan secara umum setelah mengikuti
KKG/MGMP.
Secara
umum tujuan Kelompok Kerja Guru adalah meningkatkan mutu pendidikan dalam arti
yang luas, dan secara khusus untuk meningkatkan professional guru. Tujuan
Kelompok Kerja Guru menurut Depdikbud (2005: 3) adalah meningkatkan kualitas
sumber daya tenaga kependidikan yang tersedia. Maka dalam rangka mencapai
tingkat kulaitas yang diharapkan tersebut, perlu di lakukan pembinaan intensif
terhadap guru. Pembinaan kemampuan professional guru dimaksudkan untuk
memberikan bantuan kepada guru terutama bantuan berupa bimbingan, pengarahan
dan dorongan, sehingga nantinya guru diharapkan mampu menguasai bidang studi
yang dibinanya, memiliki keterampilan teknik mengajar yang baik, melaksanakan proses
belajar mengajar dengan sempurna serta bias mengukur hasil belajar guru dengan
tepat. Kegiatan KKG/MGMP yang diadakan setiap sebulan sekali ternyata belum
sesuai dengan harapan, sementara ada guru yang menganggap bahwa kegiatan
KKG/MGMP hanya merupakan serangkaian kegiatan klasik, dari “datang, duduk,
dengar, makan, canda dan pulang” tanpa membawa hasil. Bahkan ada kecenderungan,
para guru yang mengikuti KKG/MGMP dilandasi rasa “terpaksa” lantaran “takut”
dengan Kepala Sekolah atau Pengawas, bukan dilandasi motivasi yang tinggi akan
pentingnya wawasan dan pengetahuan guna meningkatkan kualitas pendidikan.serta
ada kendala yang terjadi didalam kegiatan KKG/MGMP yaitu belum adanya
fasilitator yang memadai dari masing-masing KKG/MGMP sehingga terlihat jelas
perbedaan yang mencolok antara KKG/MGMP yang aktif dan mati suri. Selain itu
keterbatasan biaya menjadi penghalang utama jika harus mendatangkan fasilitator
dari luar KKG/MGMP. Peer facilitator mempunyai kekuatan sebagai asisten khusus,
tutor, teman spesial dan sebagai pemimpin kelompok kecil
2.1.1.1 Peer facilitator
1.
Batasan
Peer facilitator
Apa
yang dimaksud dengan "peer facilitator?" Istilah ini mengacu pada
seorang yang menggunakan keterampilan pengetahuannya membantu yang lain
berpikir tentang ide-ide dan perasaan, mengeksplorasi alternatif dalam berbagai
situasi, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab (Myrick & Bowman,
1981/1993). Peer facilitator telah digunakan secara sinonim dengan penolong
sebaya, guru fasilitator, pemimpin kelompok sebaya, dan konselor sebaya.
Hampir
semua guru dapat belajar untuk menjadi fasilitator. Mereka dapat belajar
keterampilan dan konsep-konsep dasar yang kemudian dapat digunakan untuk
membantu orang lain dalam hal akademik dan pengembangan pribadi mereka.
Beberapa peer facilitator akan lebih efektif daripada yang lain, terutama
mereka yang telah berpartisipasi dalam program yang terorganisir dan
komprehensif.
Program
peer facilitator tidak boleh disamakan dengan program bantuan/pendampingan
guru.Rekan sebaya dapat membuat perbedaan positif dalam mencegah
masalah-masalah interpersonal dan sosial dan membantu guru lain untuk
mendapatkan hasil maksimal dari KKG/MGMP.
2.
Kekuatan
Hubungan Peer facilitator
Hubungan
peer facilitator sangat kuat dan mereka harus direkayasa sedemikian rupa
sehingga orang dapat belajar bagaimana berinteraksi secara positif satu sama
lain. Program KKG/MGMP harus mengakui bahwa para guru perlu mengambil peran
aktif dalam membantu membangun hubungan dan lingkungan belajar yang positif.
Mereka membutuhkan kesempatan untuk belajar keterampilan sosial, serta belajar
tentang profesinya. Mereka perlu belajar keterampilan manajemen dan bagaimana
untuk mendorong dan mendukung satu sama lain dalam proses kegiatan KKG/MGMP.
Idealnya,
semua guru harus belajar bagaimana menjadi peer facilitator. Mereka akan
menjadi pendengar yang baik dan memfasilitasi diskusi yang lebih baik di antara
teman-teman mereka. Mereka juga tahu nilai membantu hubungan dan bagaimana
untuk membina mereka. Mereka bisa mengambil tanggung jawab lebih atas situasi
yang ada dan merasa lebih banyak mendukung. Upaya mereka untuk mengembangkan
diri mereka yang unik akan meningkat.
3.
Empat
Peran Dasar Bantuan Sebaya
Ada
banyak hal yang mungkin dilakukan peer facilitator. Ini dapat membantu jika
kita berpikir dalam kerangka empat peran nyata dalam membantu.
1.
Asisten Khusus
Peer
facilitator yang bekerja sebagai pendamping memberikan bantuan tepat waktu
kepada guru yang lain dan memberikan bimbingan, khususnya melalui
aktivitas-aktivitas seperti mengajar yang baik, mengumpulkan bahan-bahan
pembuatan media pembelajaran, pemantauan proyek, membangun papan buletin, dan
berpartisipasi dalam perencanaan kegiatan pendidikan.
Secara
umum, peran ini cenderung berfokus pada bantuan tidak langsung kepada rekan dan
interaksi yang biasanya terbatas. Hal ini disertakan di sini karena peran
pembantu tradisional yang sering diberikan beberapa guru. Di masa lalu, peran
ini tidak menekankan interaksi pribadi di antara guru sebanyak tugas-tugas
rutin. Namun, tampaknya bahwa dengan pemberdayaan peer facilitator, semua peran
pendamping guru dapat ditingkatkan.
2.
Tutor
Jarang
tutor dipersiapkan secara sistematis atau dilatih secara khusus untuk bekerja.
Kriteria utama untuk seleksi sebagai tutor adalah prestasi akademik.Tidak semua
orang yang diajari bersedia berpartisipasi dalam proses pengajaran, terutama
bila dilakukan dengan cara yang tidak baik. Terlalu banyak guru yang diminta
untuk membantu orang lain dengan pengalaman mereka merasa tidak terbiasa dengan
keterampilan dasar membantu.
Biasanya
para guru yang memiliki masalah dengan kompetensinya membutuhkan bantuan
ekstra. Mereka sering menolak untuk dibantu dan menemukan pengalaman belajar
yang tidak menyenangkan. Mereka mungkin malu, merasa bersalah, dan menjadi
defensif ketika bantuan yang ditawarkan. Beberapa mungkin menolak bantuan
apapun karena mereka khawatir bahwa guru lain akan memandang rendah mereka dan
mungkin menggoda mereka.
Tidaklah
cukup untuk mengandalkan naluri alami ketika membimbing guru lain. Tanpa
persiapan khusus sebagai peer facilitator, bahkan guru yang terbaik secara
akademis sering tidak dapat membantu memotivasi rekan-rekan mereka. Mereka
tidak yakin apa yang harus dilakukan, mengalami frustrasi, dan menjadi kecewa
sendiri.
3.
Teman Spesial
Sebagai
teman spesial, peer facilitator membantu mengembangkan hubungan dekat dengan
teman-teman yang lain. Hal ini memungkinkan peer facilitator untuk memberikan
dorongan dan dukungan pada waktu yang tepat mengenai masalah-masalah pribadi
yang mempengaruhi pembelajaran di KKG/MGMP.
Guru
merasa ditinggalkan ketika mereka tidak punya teman di KKG/MGMP. Apakah Anda
ingat teman-teman yang ada di KKG/MGMP? Seberapa pentingkah mereka bagi Anda?
Apakah Anda pernah berharap bahwa Anda dapat memiliki lebih banyak teman? Atau,
apakah Anda pernah memerlukan teman khusus yang bisa Anda percaya. Banyak guru
merasa terisolasi atau bahkan terasing. Tidaklah mudah untuk berkembang dalam
dunia sekarang ini. Hubungan peer facilitator yang positif kadang-kadang sulit
untuk dibentuk, terutama ketika eseorang tidak memiliki keterampilan dan
pengalaman dalam mengembangkan diri.
Melalui
satu persahabatan, seseorang belajar untuk mengembangkan orang lain. Berbagi
pengalaman, ide-ide yang dieksplorasi, mendengarkan perasaan, dan ada
kepercayaan atau ikatan khusus yang dikembangkan dari saling menghormati dan
penerimaan. Tanpa dasar ini, KKG/MGMP dipandang sebagai tempat yang tidak ramah
di mana orang diuji, ditolak, dan diabaikan. Akibatnya, beberapa guru tidak
pernah belajar dengan baik.Ada banyak guru yang membutuhkan bantuan teman
spesial yang dapat mendengarkan dan menunjukkan minat dalam gagasan dan
pemikiran.
4.
Pemimpin Kelompok Kecil
Peer
facilitator dapat berperansebagai pemimpin kelompok kecil yang efektif. Hal ini
dapat memberikan kepada guru sebagai sebuah sumber pendamping yang berharga
yang dapat membantu membuat pengalaman belajar yang lebih personal dan menarik.
Dengan bantuan dari peer facilitator sebagai pemimpin kelompok kecil, lebih
banyak guru yang dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar, akan lebih
terlibat dalam proses belajar, dan mengalami kondisi hubungan fasilitatif
(pengertian, penerimaan, dll).
2.1.1.2
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kinerja
2.1.1.3 Penilaian Kinerja
2.2 KKG/MGMP
2.2.1
Pengertian
KKG/MGMP
Kelompok
Kerja Guru (KKG)/Musyawarah Guru Mata Pelajaran(MGMP) Kelompok Kerja Guru,
adalah suatu organisasi profesi guru yang bersifat non struktural yang dibentuk
oleh guru-guru di Sekolah Dasar, di suatu wilayah atau gugus sekolah wahana
untuk saling bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru dan
memperbaiki kualitas pembelajaran. Dari pengertian tersebut di atas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa kelompok kerja guru adalah ajang perkumpulan untuk
membicarakan masalah-masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar
sehingga guru tersebut lebih profesional dan meningkatkan mutu dari proses
pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, pemberdayaan KKG/MGMP sangat
dimungkinkan untuk menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan kinerja para
guru dilapangan. Tentu saja, diperlukan reformasi organisasi dan manajemen
KKG/MGMP agar organisasi ini memiliki kemampuan untuk menjadi wadah yang
efektif untuk meningkatkan mutu dan kinerja guru di daerah. (Depdiknas, 2004).
Bahkan
Tangyong dan kawan-kawan (1990:9) mengemukakan bahwa: Kelompok kerja guru
berguna sebagai wadah kreatifitas guru, membantu guru mengembangkan topik,
menunggu sumbangan gagasan baru daru guru, sumber informasi, wadah komunikasi,
benkel kerja yang berguna, merupakan laboratorium tempat percobaan guru, tempat
pembinaan kekeluargaan, dan merupakan pusat perpustakaan bagi guru: Menurut
Supriadi (1998 : 240), penyusun program gugus dan Kelompok Kerja Guru
(KKG/MGMP) yang kurang jelas, pembiayaan dan sarana prasarana yang kurang
mendukung, tingkat kebersamaan diantara guru dirasakan kurang mendukung, waktu
pelaksanaan sedikit, kurang tepat memilih penguru, sehingga KKG/MGMP menjadi
lesu, programnya menjadi kegiatan yang rutin, tidak bervariasi dan
mengakibatkan kejenuhan, pertemuan-pertemuan tidak menghasilkan sesuatu yang konkkrit
yang bermanfaat bagi anggota, anggota dan pengurus belum dapat
mengidentifikasikan permasalahan lapangan sehari-hari.
Permasalahan-permasalahan
tersebut sangat dirasakan bukan hanya oleh guru itu sendiri, akan tetapi oleh
para pembina teknis dan pihak-pihak terkait lainnya. Secara teoritis upaya
perubahan perilaku guru melalui kegiatan kelompok kerja guru merupakan
pendekatan yang paling efektif dan terarah dalam meningkatkan pengetahuan,
kemampuan pembelajaran dan kemampuan mengembangkan diri yang sekaligus
berdampak bagi kinerja guru.
2.2.2
Tujuan KKG/MGMP
Tujuan kelompok kerja guru adalah sebagai
upaya pembinaan profesional guru melalui KKG/MGMP merupakan kegiatan yang
terencanadengan tujuan yang cukup jelas. Menurut Dirjen Dikdasmen tahun (1997)
KKG/MGMP bertujuan sebagai (1) sebagai wadah kerjasama dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan di sekolah dasar; (2) untuk menumbuhkan dan meningkatkan
semangat kompetitif di kalangan anggota gugus dalam rangka maju bersama untuk
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dasar; (3) sebagai sarana pembinaan
profesional bagi guru; (4) sebagai wadah penyebaran inovasi khususnya di bidang
pendidikan. Secara umum tujuan kelompok kerja guru adalah untuk meningkatkan
mutu pendidikan dalam arti yang luas, dan secara khusus untk meningkatkan
profesional guru.
2.2.3
Peran KKG/MGMP
Menurut
pedoman KKG/MGMP (Depdiknas, 2004:4) KKG/MGMP berperan untuk (1) mengakomodir
aspirasi dari, oleh dan untuk anggota, (2) mengakomodir aspirasi masyarakat,
steakholder dan siswa, (3) melaksanakan perubahan yang lebih kreatif dan
inovatif dalam proses pembelajaran, (4) mitra kerja Dinas Pendidikan dalam
menyebarkan informasi kebijakan pendidikan. Sedangkan menurut Mangkoesapoetra
(2004) peranan KKG/MGMP adalah: (1) reformator dalam claissroom reform,
terutama dalam orientasi pembelajaran efektif, (2) mediator dalam pengembangan
dan peningkatan kompetensi guru terutama dalam pengembangan kurikulum dan
sistim pengujian, (3) suproting agency dalam inovasi manajemen kelas dan
manajemen sekolah, (4) collabolator terhadap unit terkait dan organisasi
profesi yang relevan, (5) evaluator dan develover school reform dalam konteks
MPMBS (6) clinical dan academic supervisor dengan pendekatan penilaian
appiraisal.
2.2.4
Fungsi KKG/MGMP
Adapun
fungsi KKG/MGMP menurut Mangkoesapoetra (2004) adalah: (1) menyusun program
jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek serta mengatur jadwal dan
tempat kegiatan secara rutin, (2) memotivasi para guru untuk megikuti kegiatan
KKG/MGMP secara rutin baik ditingkat sekolah, wilayah maupun kabupaten (3)
meningkatkan mutu kompetensi profesionalisme guru dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengujian/Penilaian pembelajaran dikelas sehingga mampu
mengupayakan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di sekolah.
2.2.5
Prinsip KKG/
MGMP
Prinsip
KKG/MGMP adalah: (1) merupakan organisasi yang mandiri, (2) dinamika organisasi
yang dinamis berlangsung secara alamiah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan,
(3) mempunyai visi dan misi dalam upaya mengembangkan pelayanan pendidikan
khususnya proses pembelajaran efektif dn efisien, (4) kreatif dan inovatif
dalam mengembangkan ide-ide pembelajaran yang efektif dan efisien, (5) memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) (depdiknas, 2004).
2.2.6
Kegiatan
KKG/MGMP
Kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan dalam pertemuan KKG/MGMP menurut pedoman KKG/MGMP
(Depdinas,2004) antara lain: (1) meningkatkan pemahaman kurikulum. Kegiatan
KKG/MGMP dilaksanakan dalam rangka untuk meningkatkan pemahaman guru mengenai
kurikulum yang dipakai dalam proses pembelajaran beserta perangkat yang
dibutuhkan dalam mengajar sesuai dengan tuntunan kurikulum, sehingga setelah
mengikuti KKG/MGMP guru diharapkan dapat membuat perangkat pembelajaran dan
dapat menjalankan kurikulum yang digunakan dengan benar, (2) mengembangkan
silabus dan sistim penilaian.Guru diharapkan mampu mengembangkan silabus yang
sudah ada dan diharapkan mampu memilih metode penilaian pembelajaran
disesuaikan dengan materi, kemampuan siswa, media alat bantu pembelajaran, (3)
mengembangkan dan merancang bahan ajar. Guru dilatih untuk dapat mengembangkan
bahan pelajaran pokok sehingga guru diharapkan mampu menyusun rancangan bahan
pelajaran, (4) meningkatkan pemahaman tentang pendidikan berbasis luas
(broadbased education) dan pendidikan berorientasi kecakapan hidup (lifeskill).
Bahwa guru dalam mengajar tidak hanya berfokus pada materi yang diajarkan
tetapi mampu menanamkan keterampilan kepada siswa (5) mengembangkan model pembelajaran efektif. Guru dalam mengajar
harus fokus terhadap pencapaian tujuan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran yang bervariasi. (6) mengembangkan dan melaksanakan analisis saran
pembelajaran. Guru mampu merencanakan sarana pembelajaran yang tepat untuk
menunjang pencapaian tujuan pembelajaran. (7) mengembangkan dan melaksanakan
pembuatan alat pelajaran sederhana. Guru dapat membuat alat pembelajaran sesuai
dengan materi dan kemampuan sekolah guna menunjang pencapaian tujuan
pembelajaran. (8) mengembangkan dan melaksanakan program pembelajaran berbasis
komputer. Penerapan sistim komputer terhadap materi yang diajarkan, (9)
mengembangkan media dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Guru mampu
merencanakan dan mengembangkan media apa yang cocok untuk digunakan dalam
pembelajaran sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
2.2.6.1
Kompetensi Guru
2.2.6.2
Indikator
Kompetensi Profesional Guru
2.2.7
Kecerdasan
Emosional
2.2.7.1
Efektivitas
Kelompok Kerja Guru.
Organisasi
dinyatakan efektif apabila tujuan anggota organisasi dan tujuan organisasi
tercapai sesuai atau diatas target yang telah ditetapkan . Bukti bukti atau
indikator organisasi bermutu dan efektif antara lain: 1). berfokus pada
pelanggan, 2). berfokus pada upaya pencegahan masalah, 3) investasi pada
manusia dan menganggap manusia sebagai aset organisasi yang tidak ternilai, 4)
memiliki strategi untuk mencapai mutu, 5) memperlakukan keluhan sebagai umpan
balik untuk memperbaiki diri, 6) memiliki kebijakan dalam perencanaan mutu, 7)
mengupayakan proses perbaikan terus-menerus dengan melibatkan semua pihak
terkait, 8) membentuk fasilitator bermutu (mau dan mampu memimpin proses
perbaikan), 9) mendorong orang untuk berinovasi dan berkreasi, 10) memperjelas
peranan dan tanggung jawab setiap orang, 11) memiliki strategi evaluasi yang
objektif dan jelas, 12) memiliki rencana jangka panjang, 13) memiliki visi dan
misi, 14) memandang mutu sebagai bagian dari kebudayaan, 15) terbuka dan
bertanggung jawab
Berdasarkan uraian tersebut maka KKG merupakan organisasi yang efektif dalam
melaksanakan pembinaan profesional bagi guru-guru dalam melaksanakan tugas
mengajar atau pembelajaran sehari-hari sehingga mereka senantiasa dapat
meningkatkan mutu KBM. Upaya ini dilaksanakan dalam wadah (sistem dan
organisasi) gugus sekolah dengan memanfaatkan PKG, KKG, KKKS dan KKPS serta
pembinaan dari Kantor Cabang Dinas pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
Bidang Pendidikan Dasar/Guru pada tingkat propinsi, dan partisipasi orang tua
murid, serta masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Adlan,
Aidin. (2000). Hubungan Sikap Guru
Terhadap Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja. Jakarta:
Matahari No.1.
Amrullah,
Najib. (2008). Religiusitas dan
Kecerdasan Emosional dalam Kaitannya dengan Kinerja Guru di MAN 2 Banjarmasin..
Malang: Pendidikan Psikologi UIN Malang.
Arikunto,
Suharsimi.(2002). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto,
Suharsimi. (2005). Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta ; Edisi revisi VI : Rineka Cipta.
Arikonto
, Suharsimi. (2006). Menejemen
Penelitian. Edisi revisi. Jakarta ; Rineka Cipta.
B.
Uno, Hamzah. (2007). Profesi Kependidikan.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Budiyono.
(2000). Statistika Dasar untuk Penelitian.
Surakarta: UNS Press.
Camphell,
Linda. (1996) . Teaching And Learning
Through Multiple Intellegence Massachuesset . A Simin And Schuster Company.
DEPDIKBUD.
(2004). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Gerungan,
WA. (2000). Psikologi Sosial.
Bandung: Refika Aditama.
Goleman,
Daniel. (1996). Kecerdasan Emosional.
Alih Bahasa: T Hermaya. Jakarta: Gramedia.
Goleman,
Daniel. (1999). Emotional Intelligence.
Alih Bahasa: T Hermaya Jakarta : Gramedia.
Harahap,
Burhanudin. (1983). Supervisi Pendidikan
yang dilaksanakan oleh Guru, Kepala Sekolah, Penilik, dan Pengawas.
Jakarta: Damai Jaya.
Hasibuan,
Malayu SP. (2003). Organisasi Dan
Motivasi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hill,
D. RH. (1995). Personal Appraisal in
Perspective. London: Institute of Personnel Management.
Kartini
Kartono.(1990). Pengantar Metodologi
Research Sosial. Bandung CV Mandar Maju.
Kunandar.(2007).
Guru Profesional ( Implementasi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru.Jakarta;
PT Raja Grafindo Persada.
Mangkunegara,
A.A. Anwar Prabu. (2001). Manajemen
Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mathis,
Robert L dan Jackson, John H. (2001). Manajemen
SDM. Jakarta: Salemba Empat.
Mattews,
Zidner, Roberts.(2002). Emotional
Intelligence Science and Myth. The MIT Press Cambridge, Massachusettss
London England.
Mulyanto,
Agus Sri. (2008). Hubungan Antara
Kompetensi Profesional Guru Dan Konsep Diri Guru dengan Kinerja Guru Kelas V
Sekolah Dasar Negeri Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo Tahun 2008/2009.
Surakarta : Program studi Teknologi Pendidikan, Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
Nazir,
Mohhammad. (1988). Metodologi Penelitian,
Jakarta. Ghalia Indonesia.
Patricia
A D, Arthur D D. (2002). Riset
Keperawatan : Buku Ajar dan Latihan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
PP
No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Rachman,
Maman. (1993). Strategi dan
Langkah-Langkah Penelitian Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Robert
Bacal,.Performance Management.
Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
2001), h. 86.
Segal,
Jeanne. (2001). Raising Your Emotional
Intellegence Edisi Terjemahan oleh Dian Paramesti Bahar Jakarta : Citra
Aksara.
Sudjana.
(1996). Tehnik Analisa Regresi dan
Korelasi. Bandung: Torsito.
Sudjana.
(2002). Metode Statistik. Bandung:
Transito.
Sudjana,
Nana. (1989). Dasar-dasar Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Sudjana,
Nana. (2004). Dasar-Dasar Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugiyono.(2005).
Metodologi Penelitian Kuantitatif.
Bandung: PT Alfa Beta.
Sugiyono.
(2008). Metode Penelitian Bisnis.
Bandung : Alfa Beta.
Suharsaputra,
Uhar. (2011). Administrasi Pendidikan.
Bandung: Refika Aditama.
Sukardi,
(2005). Metodologi Penelitian Pendidikan:
Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta:
Bumi Aksara.
Sukardi,
(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan
Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sutisna,
Oteng. (1985). Administrasi Pendidikan:
Dasar Teoritis untuk Peraktek Profesional.Bandung: ANGKASA.
Syah,
Muhibbin. (2000). Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
UU
No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Wibowo
dan Hamrin. (2012). Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yamin,
Martinis dan Maisah. (2010). Standarisai
Kinerja Guru. Jakarta : Gaung Persada Press.
Yutmini,
Sri. (1992). Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: FKIP UNS.
ANALISIS KINERJA
DAN PENGAWASAN SEKOLAH
Di Susun Oleh :
Yogi
Iskandar NIM. 82321415067
Ima
Fitriana NIM. 82321415049
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini
pendidikan merupakan hal yang teramat penting dalam upaya meningkatkan sumber
daya manusia. Jika negara memiliki pendidikan yang baik. Maka negara tersebut
akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui sumber daya manusia
tersebut maka negara akan memiliki produktifitas yang tinggi. Sumber daya yang
produktif akan meningkatkan ekonomi suatu negara.
Oleh karena itu
pendidikan merupakan fokus utama dalam pembangunan di suatu negara. Seperti
halnya, di Negara Indonesia. Indonesia mulai berfokus pada pembangunan sumber
daya manusia melalui jalur pendidikan. Salah satu contohnya seakarang Negara
Indonesia, mengalokasikasikan dana sebesar 20% dari APBN untuk pendidikan. Hal
ini, merupakan bukti kecil yang dapat memberikan gambaran mengenai fokus utama
pemerintah dalam membangun sumber daya manusia melalui pendidikan.
Tidak hanya itu,
salah satu bukti lain fokus utama pemerintah dalam upaya meningkatkan sumber
daya manusia melalui pembangunan pendidikan yang berkualitas adalah melalui
adanya peningkatan tunjangan dan pelatihan untuk guru sebagai pemeran utama
dalam pendidikan. Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan begitu
kuat melalui peningkatan pendapat tenaga pendidik dan platihan terhadap
pendidik diharapkan guru memiliki kesejahtraan yang baik agar dapat fokus dalam
melaksanakan pemberlajaran. Selain dari itu, platihan yang dilakukan terhadap
guru agar guru memiliki kompetensi yang baik agar dapat melakukan pembelajaran
yang efektif.
Pendidikan Indonesia semakin hari
kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific,
Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.Sedangkan untuk kualitas para
guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.Salah satu
faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena
lemahnya para guru dalam menggali potensi anak.Para pendidik seringkali
memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat
yang dimiliki siswanya.Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah
menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu.
Disisi lain masalah pendidikan
Indonesia terdapat pada kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih
belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sepaham dengan ungkapan Sabda Aanroida pada sebuah blog :
Keadaan guru saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51%
yang berpendidikan S1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S1.
Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar
70,5% guru yang memenuhi syarat sertfikasi, sedangkan 861.670 guru lainnya
belum memenuhi syarat sertiffikasi. Dari segi penyebarannya, distribusi guru
tidak merata. Kekurangan gutu untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah
terpencil masing-masing adalah 21%, 37% dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan
Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%. Sementara di banyak daerah terjadi
kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di
semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari
pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
Dari uraian
diatas dapat tergambar dengan jelas, bahwa pendidikan Indonesia memiliki
kualitas yang kurang baik. Terdapat berbagai factor yang dapat membuat kualitas
sekolah kurang baik, seperti halnya kinerja sekolah yang kurang optimal serta
pengawasan sekolah yang kurang efektif. Oleh krena itu, penyusun tertarik untuk
melakukan kajian mengenai “Analisis Kinerja Dan Pengawasan Sekolah”.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian
ditas penyusun merumuskan beberapa aspek permasalahan yang diantaranya sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
kajian kinerja sekolah?
2.
Bagaimana
kajian pengawasan sekolah?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan Penyusunan ini, ialah sebagai
berikut:
1.
Untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Seminar Kajian Pendidikan di sekolah
Pascasarjana Universitas Galuh Ciamis pada Prodi Administrasi Pendidikan.
2.
Untuk
mengetahui secara jelas gambaran Analisis Kinerja dan Pengawas Sekolah
3.
Untuk
mengetahui secara jelas gambaran Analisis Kinerja dan Pengawas Sekolah
D.
Kegunaan
Penyusunan
Adapun kegunaan
yang ingin didapatkan oleh penulis, dalam melaksanakan penyusunan ini adalah
sebagai berikut:
1.
Hasil
Penyusunan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi praktisi
pendidikan. Sehingga, pada masa mendatang pendidikan dapat berjalan lebih
maksimal. Selain dari itu dengan adanya Penyusunan ini dapat memberikan
pemahaman kepada penyusun khususnya mengenai analisis kinerja dan pengawas
sekolah.
2.
Hasil
dari Penyusunan ini diharapkan menjadi bahan informasi atau masukan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang administrasi pendidikan.
Sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi para pembaca dalam pengembangan
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Analisis Kinerja
Sekolah
Secara umum
pengertian kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitiatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan indikator
masukan, proses, dan output. Selanjutnya
ahli lain mengatakan bahwa kinerja adalah kombinasi atau perpaduan antara
motivasi yang ada pada diri seseorang dan kemampuannya melaksanakan suatu
pekerjaan. (Fielmen, 1999).
Produktivitas sekolah bukan semata-mata ditujukan untuk
mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga
penting dikerjakan, seperti diungkapkan Laeham dan Wexley (1992: 2), bahwa:
”...performance appraisals are crucial to the efectivity management of an
organization’s human resources, and the proper management ofhuman resources is
a critical variable afecting an organization’s productivity”
Dengan
demikian dari gambaran teori diatas dapat disimpulan, bahwa kinerja merupakan
sebuah ukurann kuantitatif maupun kualitatif mengenai produktifitas sekolah
yang meliputi unjuk kerja yang serius guna menghasilkan kualitas pendidikan
yang optimal sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang kreatif dan mampu
menjawab tantangan global.
1.
Konsep Dasar
Penilaian Kinerja atau Performansi
Konsep dasar penilaian kinerja atau prformansi adalah Sesuai dengan permendiknas no 13 tahun 2007
tentang Standar Kepala Seklolah / Madrasah dan Permendiknas no 28 tahun 2010
Penugasan guru sebagai Kepala Sekolah/madrasah, Pasal 12 menyatakan
bahwa: (1) Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah
dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif
setiap empat tahun; (2) Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas
sekolah/madrasah; (3) Penilaian kinerja empat tahunan dilaksanakan oleh atasan
langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang
terdiri dari pengawas sekolah/madrasah, pendidik, tenaga
kependidikan, dan komite sekolah/madrasah dari tempatnya bertugas;
(4) Hasil penilaian kinerja dikategorikan dalam tingkatan amat
baik, baik, cukup, sedang atau kurang. (Halimi: http://pascasarjana-halimi.
blogspot.co.id/2014/ 12/penilaian-kinerja-sekolah.html: 21
Oktober 2015)
Dengan
demikian bahwa penilaian kinerja di lingkungan sekolah dilakukan oleh
stikholder/ jabatan yang lebih tinggi pada organisasi sekolah.Seperti halnya
seorang guru dinilai oleh guru dan kepala sekolah dinilai oleh pengawas
sekolah.Hasil penilaian, tersebut terdiri atas amat baik, baik, cukup sedang
atau kurang.
Hal
ini dilakukan sebagai upaya pengawasan dalam pendidikan agar lembaga pendidikan
dapat berjalan dengan baik dan dapat menjalankan sistem pendidikan secara
optimal. Serta memperoleh data tentang pelaksanaan tugas
pokok, fungsi dan tanggung jawab kepala sekolah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi manajerial dan supervisi/ pengawasan pada sekolah yang
dipimpinnya. Memperoleh data hasil pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai peminpin sekolah. Menentukan kualitas kerja kepala sekolah sebagai
dasar dalam promosi dan penghargaan yang diberikan kepadanya. Menentukan
program peningkatan kemampuan profesional kepala sekolah dalam konteks
peningkatan mutu pendidikan pada sekolah yang dipimpinnya.
Menentukan program umpan balik bagi
peningkatan dan pengembangan diri dan karyanya dalam konteks pengembangan karir
dan profesinya. Hasil penilaian kinerja akan bermanfaat bagi kepala dinas
pendidikan dalam menentukan promosi, penghargaan, mutasi dan pembinaan lebih
lanjut.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja
dalam hal ini prestasi guru merupakan perilaku guru yang mempunyai (1)
kecakapan, (2) keterampilan, (3) pengalaman, (4) keseriusan, (5) kesehatan
jasmani dan rohani, (6) tanggung jawab, (7) mempunyai target tugas.
Kinerja
guru yang positif tidak terlepas dari kesadaran dan keinginan serta kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru. Terdapat beberapa aspek yang perlu dikuasai oleh
guru dalam upaya meningkatkan kinerja guru. Seperti yang di ungkapkan oleh
Ngatimin DS (35-36:2011) guru yang memiliki kompetensi yang baik ialah guru
yang memiliki kemapuan pada:
1.
Perencanaan
Program Pembelajaran
Tahap perecanaan dalam kegiatan
pembelajaran merupakan tahap yang berhubungan dengan kemampuan guru menguasai
bahan ajar. Kemampuan guru dapat dilihat dari cara atau proses penyusunan
program kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, yaitu mengembangkan
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
2.
Pelaksanaan
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pelaksanaan pembelajaran
dikelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh adanya
pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, dan penggunaan metode
serta strategi pembelajaran. Semua tugas tersebut merupakan tugas dan tanggung
jawab guru yang secara optimal dalam pelaksanaannya menuntut kemampuan guru, yakni:
a.
Pengelolaan
Kelas
b.
Penggunaan
media dan sumber belajar
c.
Penggunaan
metode pembelajaran
3.
Evaluasi
dan penilaian
Penilaian hasil belajar merupakan
kegiatan atau cara yang ditunjukan untuk mengetahui tercapai atau tidaknya
tujuan pembelajaran yang telah dilakukan. Pada tahap ini seorang guru dituntut
memiliki kemampuan dalam menentukan pendekatan dan cara-cara evaluasi,
pengolahan, dan penggunaan hasil evaluasi.
Untuk
keberhasilan prestasi kerja selanjutnya diadakan proses-proses penilaian yang
didalamnya meliputi:
1.
Penilaian
Prestasi Kerja
Sedangkan
menurut Martoyo (2010:54), mengungkapkan:
“Penilaian
prestasi kerja (performance appraisal)
adalah proses dimana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi
kerja karyawan. Apabila penilaian prestasi kerja tersebut dilaksanakan dengan
baik, tertib dan benar, dapat membantu loyalitas para guru (anggota
organisasi).”
Dengan demikian melalui penilaian prestasi
guru dapat bermanfaat bagi guru itu sendiri terutama hal- hal yang berkaitan
dengan bagaimana prestasi yang dimiliki guru tersebut. Melalui penilaian yang
dilakukan, dapat dijadikan bahan evaluasi bagi guru itu sendiri untuk terus
mengembangakan kompetensi yang dimiliki oleh guru tersebut.
2.
Tujuan
Penilaian
a.
Mengidentifikasikan
kompetensi yang dimiliki oleh guru, sehingga dapat menentukan apakah perlu
peningkatan komptensi guru melalui latihan atau memang guru sudah memiliki
kompetensi yang baik.
b.
Sebagai
rujukan untuk jenjang karir yang harus dimiliki oleh guru.
c.
Mengidentifikasi
para guru yang akan dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.
d.
Menetapkan
kemungkinan promosi bagi guru yang memiliki jenjang karir yang baik.
3.
Manfaat
Penilaian Prestasi
a.
Perbaikan
prestasi kerja.
b.
Penyesuaian-penyesuaian
kompensasi.
c.
Keputusan-keputusan
penempatan.
d.
Kebutuhan-kebutuhan
latihan dan pengembangan.
e.
Perencanaan
dan pengembangan karir.
f.
Penyimpangan-penyimpangan
proses staffing.
g.
Ketidakakuratan
informasional.
h.
Kesalahan-kesalahan
desain pekerjaan.
i.
Kesempatan
kerja yang adil.
j.
Tantangan-tantangan
eksternal.
Terdapat berbagai
aspek yang perlu dilakukan dalam melakukan evaluasi kinerja guru. Seperti yang
diungkapkan oleh Mulyasa (2010:44-63) antara lain :
1.
Kecakapan
2.
Keterampilan
3.
Pengalaman
4.
Keseriusan
5.
Kesehatan
jasmani dan rohani
6.
Tanggung
jawab
7.
Mempunyai
target tugas
8.
Kehadiran
Sedangkan Hamzah
B. Uno dalam Ngatimin Ds (34:2011) mengungkapkan dimensi dan indikator yang
dapat mengukur kinerja guru, yaitu:
1.
Kualitas
Kerja, dengan indikator:
a.
Merencanakan
program pembelajaran dengan tepat.
b.
Melakukan
penilaian hasil belajar.
c.
Berhati-hati
dalam menjelaskasn materi ajar.
d.
Menerapkan
hasil penelitian dalam pembelajaran.
2.
Kecepatan/
Ketepatan Kerja, dengan indikator:
a.
Menerapkan
hal- hal baru dalam pembelajaran,
b.
Memberikan
materi ajar sesuai karakteristik yang dimiliki siswa,
c.
Meneyelesaikan
program pengajaran sesuai kalender akademik.
3.
Inisiatif
dalam bekerja, dengan indikator:
a.
Menggunakan
media dalam pembelajaran.
b.
Menggunakan
berbagai metode dalam pembelajaran.
c.
Menyelenggarakan
administrasi sekolah dengan baik.
d.
Menciptakan
hal- hal baru yang lebih efektif dalam menata administrasi sekolah.
4.
Kemampuan
kerja, dengan indikator:
a.
Mampu
dalam memimpin kelas.
b.
Mampu
dalam mengelola KBM
c.
Menguasai
landasan pendidikan
5.
Komunikasi,
dengan indikator:
a.
Melaksanakan
layanan bimbingan belajar,
b.
Mengkomunikasikan
hal- hal yang baru dalam pembelajaran,
c.
Menggunakan
berbagai teknik dalam mengelola proses belajar mengajar
d.
Terbuka
dalam menerima masukan untuk perbaikan pembelajaran.
Kompetensi
adalah perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan
dalam kebiasaan bekerja dan bertindak (Mulyasa, 2003: 37).
B.
Pengawasan
Sekolah
Dalam upaya peningkatan, mutu
pendidikan. Pengawasan memiliki pranan penting agar mutu pendidikan dapat
terjamin secara optimal. Oleh karenanya, sudah selayaknya pengawasan di lembaga
pendidikan perlu dilaksanak oleh tiga elemen, yakni. Pemerintah, Lingkungan
Sekolah (Kepala Sekolah) dan Masyarakat.
Pemerintah melakukan pengawasan kepada
lembaga pendidikan melalui pengawas
sekolah. Tugas pokok pengawas sekolah ialah mengawasi penyelenggaraan
organisasi agar dapat terselenggara secara optimal. Oleh karena itu pengawas
sekolah merupakan aspek penting untuk menjaga kualitas sekolah.
Pengawasan di lingkungan sekolah
dilakukan oleh, kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah melakukan pengawasan
terhadap guru yang berkaitan dengan kompetensi guru, kinerja guru dalam
penyelenggaraan pendidikan. Yang kedua ialah pengawasan yang dilakukan oleh
guru terhadap peserta didik. Hal ini berkaitan dengan bagaimana keberlangsungan
pembelajaran di kelas, bagaimana indek pencapaian minimun tentang hasil belajar
siswa.
Seperti halnya
ungkapan Dadang Suhardan, (143:2014), mengatakan: “Syarat utama membina guru
efektif dimulai dengan hubungan awal yang akrab dan bersahabat, bebaskan guru
dari sekat atasan bawahan yang membedakannya, dari situ diketahui siapa guru
yang perlu mendapatkan supervisi.”
Dengan demikian
bahwa supervisi, merupakan landasan penlilaian yang dilakukan oleh kepala
sekolah. Dilandasi atas asas keakraban sehingga kepala sekolah sebagai pengawas
di satuan pendidikan dapat menggali informasi yang berkaitan dengan peningkatan
mutu pendidikan.
Sedangkan Nono
Mulyono dan Maman Herman, (420) Mengungkapkan:
”Pengawasan pofesional oleh pengawas satuan tenaga
kependidikan tentu diarahkan pada upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan
kepala sekolah dalam menetralisir, mengidentifikasi serta menemukan peluang-
peluang yang dapat diciptakan guna meningkatkan mutu kelembagaan secara
menyeluruh.”
Jika merujuk
pada pendapat diatas, pokok utama dalam melakukan pengawasan. Baik itu
pengawasan yang dilakukan oleh pengawas pendidikan, maupun pengawasan yang
dilakukan oleh kepala sekolah dalam satuan pendidikan. Semuanya mengarah pada,
peningkatan mutu pendidikan. Tentunya dalam melakukan pengawasan terdapat
beberapa aspek yang menjadi topik dalam melaksanakan pengawasan. Hal ini
diungkapkan oleh Nono Mulyono dan Maman Herman, (421): “Supervisi diarahkan
pada dasarnya diarahkan pada tiga kegiatan, yakni: akademis, supervisi
administrasi dan supervisi lembaga.”
Hal ini juga
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 57 tentang
Standar Nasional Pendidikan:
“Supervisi
dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas sekolah. Penyusunan
program supervisi difokuskan pada pembinaan kepala sekolah dan guru, pemantauan
delapan standar nasional pendidikan, dan penilaian kinerja kepala sekolah dan
guru. Untuk menjalankan tugas pokoknya, pengawas sekolah melaksanakan fungsi
supervisi, yaitu supervisi manajerial dan supervisi akademik.”
Berdasarkan cakupan tugas pengawas tersebut
diatas, tugas-tugas pengawas dapat dijabarkan dalam tabel berikut :
Tabel Tugas Pengawas Sekolah
Rincian Tugas
|
Pengawasan Akademik
(Teknis Pendidikan/
Pebelajaran)
|
Pengawasan Manajerial
(Administrasi dan
Manajemen Sekolah)
|
Inspecting/
Pengawasan
|
§ Pelaksanaan kurikulum mata pelajaran.
§ Proses pembelajaran/ praktikum/studi lapangan
§ Kegiatan ekstrakulikuler
§ Penggunaan media,alat bantu, dan sumber belajar.
§ Kemajuan belajar siswa
§ Lingkungan belajar
|
·
Pelaksanaan kurikulum
sekolah
·
Penyelenggaraan
administrasi sekolah
·
Kinerja kepala sekolah dan
staf sekolah
·
Kemajuan pelaksanaan
pendidikan di sekolah
·
Kerjasama sekolah dengan
masyarakat
|
Rincian Tugas
|
Pengawasan Akademik
(Teknis Pendidikan/
Pebelajaran)
|
Pengawasan Manajerial
(Administrasi dan
Manajemen Sekolah)
|
Advising/
Menasehati
|
·
Menasihati guru dalam
pembelajaran/bimbingan yang efektif
·
Guru dalam meningkatkan
kompetensi profesional
·
Guru dalam melaksanakan
penilaian proses dan hasil belajar
·
Guru dalam melaksanakan
Penyusunan tindakan kelas
-
Guru dalam meningkatkan
kompetensi pribadi, sosial dan paedagogik
|
·
Kepala sekolah di dalam
mengelola pendidikan
·
Kepala sekolah dalam
melaksanakan inovasi pendidikan
·
Kepala sekolah dalam
peningkatan kemampuan profesional kepala sekolah
·
Menasihati staf sekolah
dalam melaksanakan tugas administrasi sekolah
·
Kepala sekolah dan staf
dalam kesejahteraan sekolah
|
Monitoring/
Memantau
|
·
Ketahanan pembelajaran
·
Pelaksanaan ujian mata
pelajaran
·
Standar mutu hasil belajar
siswa
·
Pengembangan profesi guru
·
Pengadaan dan pemanfaatan
sumber-sumber belajar
|
·
Penyelenggaraan kurikulum
·
Administrasi sekolah
·
Manajeman sekolah
·
Kemajuan sekolah
·
Pengembangan SDM sekolah
·
Penyelenggaraan ujian
sekolah
·
Penyelenggaraan penerimaan
siswa baru
|
Coordinating/
Mengkoordinasi
|
·
Pelaksanaan inovasi
pembelajaran
·
Pengadaan sumber-sumber
belajar
·
Kegiatan peningkatan
kemampuan profesi guru
|
·
Mengkoordinasi peningkatan
mutu SDM sekolah
·
Penyelenggaraan inovasi di
sekolah
·
Mengkoordinasi akreditasi
sekolah
·
engkoordinasi kegiatan
sumber daya pendidikan
|
Rincian Tugas
|
Pengawasan Akademik
(Teknis Pendidikan/
Pebelajaran)
|
Pengawasan Manajerial
(Administrasi dan Manajemen Sekolah)
|
Reporting
|
·
Kinerja guru dalam
melaksanakan pembelajaran
·
Kemajuan belajar siswa
·
Pelaksanaan tugas kepengawasan
akademik
|
·
Kinerja kepala sekolah
·
Kinerja staf sekolah
·
Standar mutu pendidikan
·
Inovasi pendidikan
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kinerja
merupakan ukuran kuantitatif yang kemudian menjadi landasan empiris dalam
melaksanakan perbaikan pendidikan. Sehingga pengukuran ini menjadi salah satu
aspek yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas sekolah. Dalam upaya meningkat
kinerja sekolah yang baik diperlukan data tentang pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab kepala
sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan supervisi/ pengawasan
pada sekolah yang dipimpinnya. Dengan dmeikian sekolah perlu program peningkatan
kemampuan profesional kepala sekolah dalam konteks peningkatan mutu pendidikan
pada sekolah yang dipimpinnya.
Pengawasan
di lingkungan sekolah dilakukan oleh, kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah
melakukan pengawasan terhadap guru yang berkaitan dengan kompetensi guru,
kinerja guru dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang kedua ialah pengawasan yang
dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Hal ini berkaitan dengan bagaimana
keberlangsungan pembelajaran di kelas, bagaimana indek pencapaian minimun
tentang hasil belajar siswa.
Dalam upaya peningkatan, mutu
pendidikan. Pengawasan memiliki pranan penting agar mutu pendidikan dapat
terjamin secara optimal. Oleh karenanya, sudah selayaknya pengawasan di lembaga
pendidikan perlu dilaksanak oleh tiga elemen, yakni. Pemerintah, Lingkungan
Sekolah (Kepala Sekolah) dan Masyarakat.
Pemerintah melakukan pengawasan kepada
lembaga pendidikan melalui pengawas
sekolah. Tugas pokok pengawas sekolah ialah mengawasi penyelenggaraan
organisasi agar dapat terselenggara secara optimal. Oleh karena itu pengawas
sekolah merupakan aspek penting untuk menjaga kualitas sekolah.
B.
Saran
Dalam upaya
peningkatan mutu sumber daya manusia, sekolah memiliki peran yang signifikan.
Oleh karena itu, sudah selayaknya sekolah menjaga kulitas. Hal yang paling
sinifikan dalam proses pendidikan ialah guru. Maka guru hendaknya memiliki dan
melaksanakan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru.
Untuk menjaga
kualitas pendidikan memerlukan pengawasan yang optimal mulai dari masyarkat,
sekolah dan pengawas pendidikan. Dengan demikian sebaiknya ketiga elemen
tersebut menyatu dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap sekolah.
Daftar Pustaka
Dadang Suhardan, Riduawan dan Enas. 2014. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. 2014. Bandung: Alfabeta
Dadang Suhardan. 2014. Supervisi Profesional.
2014. Bandung: Alfabeta
Suherli dan Maman
Abdurachman. Kepemimpinan Pendidikan. Ciamis: Galuh Nurani Publishing House
Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Ngatimin DS dan Nur
Apriyaningsih. (ed). 2011. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Budaya
Organisasi Terhadap Kinerja Guru SMP Negeri 1 Luragung. (Vol.7,33-49). Kuningan:
Equalibirium Universitas Kuningan
DESENTRALISASI
PENDIDIKAN
(Analisis terhadap Kebijakan Pemerintah dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah)
Oleh,
Aam : 82321415036
AgusSumpena :
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Masalah
Desentralisasi
dipromosikan dan menjadi praktek di semua negara demokratis yang dipercaya
mampu mengubah hak antara negara dengan warganya. Dalam masyarakat majemuk,
baik secara etnis, regional, agama, dan kesejarahan, desentralisasi dipercaya
dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan
masyarakat atas keputusan pemerintah,
dan memfasilitasi tindakan dan kerja sama kolektif.
Nelson
Kafsir dalam Lili Romli (2007: 8) menjelaskan bahwa alasan menerapkan
desentralisasi lebih didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan untuk mempercepat
proses pembangunan ekonomi daerah. Lebih lanjut lagi, desentralisasi diharapkan
dapat terwujud Good Governance yang
dalam prakteknya dapat menerapkan nilai-nilai seperti efisiensi, transparansi,
dan partisipasi dalam penyelenggaraan publik (Purwanto, Erwan Agus).
Desentralisasi membawa implikasi yang
luas dalam kehidupan bermasyarakat.Menurut Litvack (1998) sebagaimana dikutip
oleh Teguh Yuwono dalam Lia Rasyaid bahwa ada tiga implikasi yang mempengaruhi
desentralisasi. Pertama, desentralisasi bisa merubah mobilisasi dan alokasi
sumber-sumber publik yang akan mempengaruhi isu-isu luas dari persoalan
pelayanan, upaya mengurangi kemiskinan, stabilitas makro ekonomi. Dalam hal ini
desentralisasi dianggap sebagai jalan pintas yang memotong isu-isu tersebut.
Kedua, manajemen desentralisasi memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang
institusi-institusi lokal dan pemahaman tentang proses desentralisasi, di mana
stakeholder harus terlibat di dalamnya. Ketiga, keyakinan empiris tentang apa
yang harus dikerjakan dan yang tidak perlu dikerjakan. Ketiga implikasi ini
menjadi tantangan bagi pemerintah yang bertangglmg jawab untuk mendesain, mengelola,
dan mengimplementasikan desentralisasi.
Dinamika
desentralisasi terjadi dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia. Secara lebih khusus dalam proses pembangunan pendidikan bangsa
Indonesia. Desentralisasi pendidikan di sini adalah pelimpahan penyelenggaraan
urusan pendidikan kepada kabupaten/kota menjadi urusan daerahnya sesuai dengan
amanah UU Nomor 32 Tahun 2004. Secara nyata dijelaskan dalam UU tersebut bahwa
selain lima urusan yang menjadi urusan pemerintah Pusat, maka semua urusan
menjadi urusan rumah tangga daerah otonom, termasuk didalamnya bidang
pendidikan.
Desentralisasi pendidikan diterapkan
untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa dampak
positif atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi: a) peningkatan
mutu; b) efisien keuangan; c) efisien administrasi; dan d) perluasan/pemerataan.
Sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Tim Bank Dunia bahwa desentralisasi
pendidikan menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, peningkatan efisiensi, dan efektivitas
usaha pendidikan; pembagian kekuasaan politik; peningkatan kualitas pendidikan;
dan peningkatan inovasi dalam pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk itu, dampak desentralisasi pendidikan tidak sekedar
dipahami dalam kontek normatif saja yakni sebatas perundang-undangan saja, akan
tetapi yang lebih menarik untuk dikaji adalah memahami implikasinya dalam
pengelolaan pendidikan. Karena pendidikan diharapkan menjadi power of change
bagi perbaikan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat lndonesia.Oleh sebab
itu, desentralisasi pendidikan diharapkan mampu memperbaiki kualitas pendidikan
Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah makalah ini, yaitu:
1.
Apa Landasan Yuridis Kebijakan tentang
Desentralisasi Pendidikan ?
2.
Apa Latar Belakang Penerapan
Desentralisasi ?
3.
Apa Tujuan
Desentralisasi Pendidikan ?
4.
Bagaimana Pengertian Desentralilasi Pendidikan ?
5.
Bagaimana Implikasi
Desentralisasi Pendidikan ?
6.
Apa Permasalahan
Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan ?
7.
Bagaimana Rekonstruksi
Pendidikan yang Diperlukan ?
C. Tujuan
Tujuan
yang akan dicapai dengan adanya makalah ini, yakni:
1.
Mengetahuai Landasan Yuridis Kebijakan tentang
Desentralisasi Pendidikan
2.
Mengetaguai Latar Belakang Penerapan Desentralisasi
3.
Mengetahuai Tujuan Desentralisasi Pendidikan
4.
Mengetahuai Pengertian Desentralilasi
Pendidikan
5.
Mengetahuai Implikasi Desentralisasi Pendidikan
6.
Mengetahuai Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan
7.
MengetahuaiRekonstruksi Pendidikan yang Diperlukan
D. Manfaat
Kehadiran makalah ini diharapkan dapat
menjadi referensi dalampembelajaran landasan pendidikan khususnya pengetahuan
tentang konsep desentralisasi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Yuridis Kebijakan tentang Desentralisasi Pendidikan
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang secara resmi sebagai
pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, diterangkan bahwa pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah yang menjadi
urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah.Urusan pemerintah dibagi sedemikian rupa
antara pemerintah dan pemerintah daerah.Dijelaskan pula selanjutnya yaitu
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat.Selanjutnya pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Sedangkan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi yang mengarah pada
pendidikan yaitu penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom,
pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)
Penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2)
penetapan
standar materi pelajaran pokok;
3)
penetapan
persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4)
penetapan
pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5)
penetapan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa;
6)
penetapan
persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan,
penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta
persyaratan penelitian arkeologi;
7)
pemanfaatan
hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri
nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara
internasional;
8)
penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan
dasar, menengah, dan luar sekolah;
9)
pengaturan
dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan
sekolah internasional;
10)
pembinaan
dan pengembangan bahasa clan sastra Indonesia.
Sementara itu,
kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)
penetapan
kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2)
penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar
sekolah;
3)
mendukung/membantu
penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis;
4)
pertimbangan
pembukaan dan penutupan perguruan tinggi;
5)
penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/ atau penataran guru;
6)
penyelenggaraan
museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan
nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
B.
Latar Belakang Penerapan Desentralisasi
Pemberian
otonomi pendidikan yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah
terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat serta upaya peningkatan mutu
pendidikan secara umum.Pemberian otonomi menuntut pendekatan manajemen yang
lebih kondusif disekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus
memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara efektif guna mendukung
kemajuan dan sistem yang ada disekolah.Selain itu, ada beberapa faktor yang
menjadi pendorong penerapan desentralisasi. Umiarso dan Imam Gojali berpendapat
bahwa terdapat lima hal yang menjadi faktor pendorong penerapan desentralisasi
dalam pendidikan. Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para
legislator, pebisnis, dan penghimpunan guru untuk turut serta untuk mengontrol
sekolah dan menilai kualitas pendidikan.Kedua, anggapan bahwa struktur
pendidikan yang berpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan
partisipasi siswa bersekolah.Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang ada
untuk merespons secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang
beragam.Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi
tuntutan baru dari masyarakat.Kelima, tumbuhnya persaingan dalam
memperoleh bantuan dan pendanaan.
C.
Tujuan
Desentralisasi Pendidikan
Secara
konseptual desentralisasi pendidikan memiliki tujuan agar terdapat keterlibatan
masyarakat dan sekolah serta pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikaan
sehingga semakin berkualitas. Pada sisi yang lain desentralisasi pendidikan ini
juga merupakan konsekuensi dari adanya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerin
tahan. Dapat kita lihat pendapat Paqueot dan Lammaert dalam Aos (2011) bahwa
desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah maupun
sekolah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di
daerah atau sekolah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan
stakeholders sekolah. Oleh karenanya, desentralisasi pendidikan disamping
diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga
merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal. Paqueo dan Lammaert
menunjukkan alasan-alasan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan yang sangat
cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu: (1) kemampuan daerah dalam membiayai
pendidikan; (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan
pendidikan dari masing-masing daerah; (3) redistribusi kekuatan politik; (4)
peningkatan kualitas pendidikan; dan (5) peningkatan inovasi dalam rangka
pemuasan harapan seluruh warga Negara.
Mardiasmo
dalam Aos (2011) menjelaskan bahwa, “Secara teoritis, desentralisasi ini
diharapkan akan menghasilkan manfaat nyata yaitu: pertama, mendorong
peningkatan partisipasi, prakarsa, kreativitas masyarakat dalam pembangunan,
serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah
dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing
daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran
peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah
yang memiliki informasi yang paling lengkap.Kemandirian masyarakat di daerah
menjadi satu ukuran yang hendak dicapai melalui desentralisasi.
D.
Pengertian Desentralilasi Pendidikan
Secara
umum desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang (autority) dan
tanggung jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat pusat kepada
institusi pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat
sekolah.Desentralisasi pendidikan didefinisikan oleh Hamzah (2008) sebagai
upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan
yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat
di bawahnya, atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, atau dari
pemerintah kepada masyarakat. Salah satu wujud dari desentralisasi ialah
terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Di sini mengindikasikan bahwa penyerahan kewenangan dalam
penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
ada di bawahnya sebagai pemahaman dari desentralisasi pendidikan. Bahwa melalui
desentralisasi yang dalam pelaksanaannya disebutkan sebagai otonomi daerah
adalah upaya melalui mana masyarakat memegang peranan dalam penyelenggaraan
pendidikan di daerah.
Berbeda
dengan Hamzah, pengertian dari desentralisasi pendidikan dijelaskan oleh
Hardiyanto dalam Aos (2011) bahwa
desentralisasi pendidikan merupakan
salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses
pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas
pendidikan serta sumberdaya manusia termasuk profesionalitas guru yang
belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun
secara internasional. Dalam definisi dari Hardiyanto ini pemahaman
desentralisasi pendidikan lebih kepada pihak sekolah sebagai subyek dalam
penyelenggaraan pendidikan.Dalam hal ini lebih sempit dari pemahaman Hamzah,
dimana sekolah sebagai pengambil keputusan dalam dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Dari
definisi di atas, dapat simpulkan bahwa secara konseptual, terdapat dua jenis
desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor
pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua,
desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih
besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama
terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintah dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan
yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat
sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Apabila
dilihat dari wewenang yang diberikan, Menurut Muhammad Rifai
desentralisasipendidikan dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu.Hal ini
bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih sekedar memindahkan
tanggung jawab manajemen dari pusat tetapi pemerintah pusat masih mempunyai
kontrol penuh.Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih
defensif, yaitu lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang kepada pemirintah
ditingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi
otonom.Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya,
yakni menyerahkan wewenang keuangan, administrasi, atau urusan paedagogik
secara permanent dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di
pusat begitu saja.
Dalam
menjalankan konsep desentralisasi pendidikan terlihat bahwa wewenang untuk
mengatur perencanaan, menajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan lain yang
terkait dengan kegiatan sekolah, tetapi unsur-unsur fundamental sekolah,
seperti paedagogik, kurikulum, organisasi, dan bahkan evaluasi tetap berada di
tangan pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas.
E.
Implikasi
Desentralisasi Pendidikan
Permasalahan
mendasar pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan terutama dasar dan menengah.Menurut Siti Irene,
sedikitnya ada tiga faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan tidak
mengalami peningkatan yang merata. Faktor pertama, kebijakan penyelenggaraan
pendidikan nasional menggunakan pendekatan education
production function atau input-output
analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini
mengartikan lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila
dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka
lembaga menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa
apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat
pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan dipenuhi, maka mutu
pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Pendekatan ini gagal karena
kurang memperhatikan prosespendidikan. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan
nasional dilakukan secara birokratik sentralistik, sehingga rnenempatkan
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat ter- gantung pada keputusan
birokratis yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang kadang kebijakan
yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat.Dengan demikian,
sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan
memajukan lembaganya tennasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu
tujuan pendidikan nasional.Faktor ketiga, peran serta masyarakat, khususnya
orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim. Partisipasi
masyarakat lebih banyak bersifat dukungan input (dana), bukan pada proses
pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas).
Dari
ketiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan rendah tampak bahwa pendidikan
tidak semata-mata sebagai ”produk” tetapi sebagai ”proses” yang menyangkut
hasil interaksi sosial antar berbagai elemen-elemen dalam masyarakat.Oleh sebab
itudalam konteks ini sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari
sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu keseluruhan. Maka
dengan demikian peran Negara dalam pembangunan pendidikan dalam perspektif
mikro dan makro dituntut menunjukkan proses perubahan yang cukup signifikan.
Sebagaimana diuraikan H.A.R. Tilaar( tentang perubahan peran negara dalam
pendidikan“
Tabel
1. Perubahan Peran Negara dalam pendidikan
PERAN
|
MASA LALU
|
SEKARANG DAN MASA DEPAN
|
Pemerataan
Pendidikan
|
Berorientasi target
|
Berorientasi kualitas
|
Kualitas
|
Dicapai mélalui evaluasi dan
standarisasi semu melalui ujian
terpusat dan kurikulum baku
yang bersifat nasional
|
Sebagai prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan
daerah
|
Proses
|
Tidak dipentingkan; yang panting ialah tercapainya target
kuantitatif.
|
Sangat penting karena yang dipentingkan ialah perubahan
tingkah laku dan ”outcome” pendidikan
|
Metodologi
|
Indoktrinasi
|
Dialogis
|
Manajemen
|
Negara dan birokrasinya memegang peranan sentral
|
Manajemen berpusat pada institusi
sekolah
|
Pelaksanaan
Servis pendidikan
|
Pelaku utama
|
Pemerintah sebagai parmer yang
cukup menetapkan arah
|
Perubahan social
|
Terarah dan opresif
|
Demokratis dan grassroot
|
Perkembangan
|
Menentukan bingkai kehidupan
|
Mengembangkan perubahan tingkah
|
Demokrasi
|
Berdemokrasi terbatas pada prosedur
|
Laku demokratis secara substantive
|
Perkembangan sosia-ekonomi masyarakat
|
Bukan menjadi bahan pertimbangan penyusunan kurikulum
|
Salah satu komponen pokok penyusunan kurikulum
|
Perkembangan nilai-nilai moral dan agama
|
Ditentukan oleh pemerintah pusat
|
Berakar dari budaya dan agama setempat
|
Pendanaan
|
Seluruhnya menanggung biaya pendidikan.
Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah
|
Selektif sebagai lembaga pemersatu nasional dalam
pemerataan, kualitas, dan persatuan nasional
|
Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun
|
Ditentukan secara terpusat oleh pemerintah pusat
|
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah.
Pelaksanaannya secara bertahap sesuai dengan kondisi
sosial-ekonomi daerah.
|
Desentralisasi
pendidikan mempunyai makna sebagai pewujudan penghargaan atas hak dan kewajiban
rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan anak-anaknya. Proses tersebut
intinya ialah memberikan kesempatan pada rakyat untuk mengambil keputusan
tentang bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan
tuntutan kehidupannya. Dengan kata lain, desentralisasi pendidikan bertujuan
memberdayakan rakyat. Oleh karena itu, tindakan pemerintah melakukan reorientasi
pendidikan merupakan langkah strategis bagi perbaikan mutu pendidikan.
Dalam
hal ini, Pemerintah melalui UU No. 32 dan 33 dan 2004 tentang otonomi daerah
menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di daerah. Selanjutnya, peran
gubernur, bupati dan walikota diharapkan lebih serius dalam melaksanakan
otonomi pendidikan dengan mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat
kebijakan pendidikan, yakni: l) peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3)
efisien administrasi; dan 4) perluasan/pemerataan.
Wewenang
paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari pra-sekolah sampai pendidikan
menengah atas merupakan urusan pemerintah kabupaten atau kota. Sehingga, daerah
memiliki kesempatanyang besar untuk
membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi
wilayahnya. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan pada daerah tingkat II
(Kabupaten dan Kota) memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan
pendidikan sesuai dengan konteks, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah
tersebut”.
Sementara
itu, penerapan desentralisasi pendidikan disertai dengan penataan fungsi
kelembagaan pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai
pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus kebijakan, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga
pendidikan dan pelatihan sebagai kontrol terhadap kualitas pengembangan
profesional guru, maka akan memperkuat
pemerintah daerah membangun tatanan sosial pada pemerintah daerah. Hal ini
sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa
wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak pendidikan pra sekolah
sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah kabupaten atau kota.
Undang-undang tersebut diperkuat lagi dengan munculnya UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai kewajiban bagi orangtua untuk
memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2).
Selanjutnya,
kewajiban bagi ma'syarakat memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan (pasal 9).Demikian juga, tentang pendanaan
péndidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat (pasal 46 ayat 1).Dalam konteks inilah pendidikan di daerah
benar-benar memberikan dasar yang cukup bagi daerah untuk lebih diberdayakan
dalam arti lebih fungsional, memiliki fleksibilitas yang tinggi, dan tidak hanya
sekedar menjadi retorika (Soeyanto. 2001 dikutip oleh Siti Irene). Oleh karena
itu, komitmen bupati atau walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota
terhadap bidang pendidikan akan memberi warna dan corak pendidikan di
daerahnya.
Contoh
nyata dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan ialah dengan adanya Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), dalam MBS ditandai adanya kewenangan pengambilan
keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang
relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan nasional. Keleluasaan pengambilan
keputusan pada tingkat sekolah dimaksudkan agar sekolah dapat mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
program serta agar sekolah dapat lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat yang
ditunjang dengan sistem pendukung seperti keterampilan mengelola (managerial
skills), keterampilan memperoleh dan memberikan informasi (informatical
skills), serta bertumpu pada kerjasama dengan masyarakat (community-based
relation). Selain itu, dalam manajemen berbasis sekolah unsur partisipasi
masyarakat merupakan hal yang sangat penting.Salah satu keberhasilan manajemen
berbasis sekolah adalah kemampuan sekolah untuk mengajak masyarakat
berpartisipasi dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan.
F.
Permasalahan
Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan
Kebijakan desentralisasi dan otonomi membawa konsekuensi
besar perubahan pendidikan di Indonesia.Sejumlah aturan, ketentuan, peraturan,
dan aneka panduan menunjukkan bahwa berbagai unit antara pusat dan sekolah tak
hanya sebagai perantara, penyampai (transmisi) tetapi perlu menjabarkan membuat
kebijakan operasional dan membuat kebijakan sekolah.
Dalam kaitannya dengan perubahan ini, unit-unit di kabupaten
dan kota perlu mengembangkan kapasitas merumuskan kebijakan operasional maupun
kebijakan yang menjadi wewenangnya. Di banyak kasus, kebijakan semacam ini
tidakdirumuskan secara jelas.Menurut Soeyanto, desentralisasi pendidikan harus
dapat menghasilkan pemahaman bahwa:
1)
Setiap unit dan personil semakin
menyadari dan memahami proses kebijakan yang menjadi urusannya.
2)
Pendidikan dasar dapat memainkan
peranan sentral dalam melaksanakan desentralisasi kehidupan masyarakat.
3)
Pentingnya kemitraan, dialog, dan
membangun belajar organisasi dalam mencapai tujuan pendidikan dasar.
4)
Pentingnya menyusun panduan dan
pengembangan kapasitas unit-unit dan personil di jajaran pendidikan kabupaten
dan kota.
Serlanjutnya,
penelitianyang dilakukan Siti Irene (2011) membuktikan bahwa praktek
desentralisasi pendidikan masih bersifat ambigu, karena kebijakan yang
sentralistik dan desentralistik masih diterapkan pada tingkat satuan
pendidikan. Berdasarkan analisis tentang respon sekolah terhadap perubahan
kebijakan di bidang pendidikan menunjukkan kecenderungan yang sama antara
sekolah. Dari riset yang dilakukan pada tiga sekolah di Kabupaten Sleman DIY
yang menggambarkan bahwa pendidikan yang sentralistik dan desentralistik secara
bersamaan masih terdapat dalam proses penyelenggaraan pendidikan pada satuan
pendidikan. Dalam penelitian tersebut
ada beberapa catatan-catatan yang memberikan pemahaman tentang deskripsi
kecenderungan- kecenderungan pendidikan sentralistik yang terungkap secara
lebih khususe dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 2. Penerapan Pendidikan yang Sentralistik dan
Desentralistik di Sekolah
Kebijakan Pendidikan Sentralistik
|
Kebijakan
Pendidikan Desentralistik
|
1. Over regulative
|
Menekankan
pada aturan-aturan yang sangat ketat kepala sekolah
|
Satu kesatuan
dalam
keragaman
|
KTSP
sebagai acuan dalam merancang kurikulum diaplikasikan sesuai dengan potensi
dan target pada satuan pendidikan.
|
2. Formalitas semu
|
Menekankan pada
aspek seremonial
daripada aspek
fimgsional dan
utility.
|
Deregulatif
|
Menyederhanakan
aturan-aturan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan pada satuan
pendidikan.
Memudahkan
dan mempercepat proses.
|
3. Cenderung otoriter
|
Dominasi
pada
seseorang
dalam
pengambilan
keputusan
|
Kolaboratif
yang cerdas
|
Membentuk
tim sukses dalam merancang perbaikan.
|
4. Pengambilan keputusan top-down
|
Mengacu
pada
kebijakan-
kebijakan
pusat.
|
Koordinatif
|
Pengelolalan
sekolah didasarkan pada kerjasama antar berbagai
unsur
dan stakeholder.
|
5. Kontrol dan arahan cenderung
individual dan sangat ketat
|
Kontrol
sosial masih terpaku pada figure seseorang.
|
Demokratis
|
Kebebasan
dalam merancang proses perbaikkan mutu sekolah
|
6. Mengutamakan individu yang cerdas
|
Belum
mem-
bentuk
team work
dalam
membuat
program
sekolah,
masih
terbatas
pada
beberapa
individu
yang
potensial.
|
Berbasis
kualitas
|
Mempunyai
kriteria kelulusan yang jelas clan terukur pada satuan pendidikan.
|
7. Menekankan pada pendelegasian
sangat terbatas
|
Kepercayaan
masih diberikan
kepada orang-
orang tertentu
yang dekat
dengan penguasa
|
Pengambilan
keputusan
bottom-up
|
Merancang
program sesuai dengan kondisi dan potensi siswa pada satuan pendidikan.
|
8. Mengutamakan pengaturan ekstemal
birokratis
|
Kebijakan
sekolah masih
didasarkan pada
kebijakan pusat
dan belum meng-
gali pada potensi
sekolah dan
masyarakat.
|
Mengutamakan
Tin yang cerdas
|
dibangun
Tim Pengembang Kurikulum pada satuan pendidikan
|
|
|
Mengutamakan
motivasi
dan pengembangan
potensi
diri
|
Merancang
program pengembangan guru dan siswa secara kontekstual.
|
|
|
Mengutamakan
informasi
terbagi kepada semua pihak
|
Memanfaatkan
teknologi
informasi
pada satuan
pendidikan.
|
|
|
Berorentasikan
keunggulan
|
Mempunyai
program dan target
pada
satuan pendidikan.
|
Berdasarkan
urajan di atas secara singkat kecenderungan pendidikan yang sentralistik dan
desentralistik yang menggambarkan sistem ”ambigu” dalam proses pembangunan
pendidikan di Indoensia. Sebagai konsekuensinya, sekolah masih menghadapi
masalah dalam mengubah pendidikan sentralistik ke arah paradigma yang
desentralistik, dalam hal ini ditandai dengan beberapa kecenderungan, yakni
(Siti Irene):
1.
Kemampuan sekolah belum optimal
dalam membuat rencana yang bersifat ”battom-up”.
Sekolah
tetap berusaha untuk dapat berprestasi secara akademik, meskipun upaya untuk
mengenalkan eksistensi sekolah dengan strategi yang kontekstual terus
diusahakan, misalnya: dengan melakukan manuver sekolah, program seni
masyarakat, dan lain-lain.
2.
Pelaksanaan program sebagian rnasih
didasarkan instruksi, daripada kemampuan profesionalitas. Kemandirian guru
dalam mengembangkan upaya peningkatan mutu masih tergantung dengan kekuatan
visi kepala sekolah.
3.
Standar yang ditetapkan masih
cenderung bersifat nasional, dan kurang memperhatikan kemampuan lokal. Orientasi
sekolah adalah meluluskan semua siswa pada ujian nasional pada tiga mata
pelajaran, yakni Matematika, IPA, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia, dan
belum mengoptimalkan prestasi non-akademik.
4.
Target yang dirancang cenderung
masih bersifat ”makro nasional” dan bukan level local terbatas. Misal: prestasi
sekolah diukur dari keberhasilan Ujian Nasional dengan standartkelulusan
sekolah ditetapkan berbeda antar sekolah. Meskipun kemampuan sekolahberbeda,
tetapi ada kccendemngan setiap sekolah ingin mengikuti kebijakan
pemerintah,misalnya: kebijakan jumlah siswa per kelas, penentuan standar buku,
mengikuti ujiannasional dan standar nilai kelulusan, dan sebagainya.
5.
Persepsi peserta diclik sebagai raw
input yang menentukan hasil akhir dan mengabaikankebutuhan pelayanan khusus
pada siswa. Pelayanan khusus pada siswa belum dijadikansebagai salah satu
sistem yang perlu dikembangkan oleh sekolah untuk meningkatkanprestasi siswa.
6.
Orientasi pada standar Ujian
Nasional daripada keunikan dan keunggulan siswa secamkomprehensif. Ada
kecenderungan sekolah yang belum berhasil dengan prestasiakademik, berusaha
untuk mengembangkan ”kekhasan”nya, tapi belum dikelola sebagaibagian
kompentensi semua siswa.
7.
Evaluasi belum didasarkan pada
kebutuhan sekolah tapi terpusat. Dengan perbedaanstatus sekolah tidak bisa
membandingkan untuk standar kelulusan siswa.
8.
Kontrol sosial dominan dilakukan
kepala sekolah daripada orangtua dan masyarakat.Peran sekolah masih dominan
dalam peningkatan prestasi siswa dibandingkan peranorangtua dan masyarakat.
9.
Pengambilan keputusan dominan pada
kepala sekolah. Guru dan komite sekolah merancang program-program sekolah,
tetapi ada kecenderungan jika kepala sekolah”kurang” sesuai dengan ide-ide yang
diberikan oleh pihak lain, maka kepala sekolah yangmenentukan kelanjutan dari
program yang dirancang.
10.
Apresiasi terhadap prestasi belum
dilakukan secara optimal. lnsentif pada prestasi gurudan siswa belum
terpikirkan secara sistemik, karena keterbatasan dana yang dimilikisekolah.
Bahkan uang insentif bulanan yang diberikan pada guru masih dibedakan oleh mata
pelajaran.
11.
Peran orangtua belum sepenuhnya
terlibat dalam proses pendidikan. Keterlibatan masihterbatas pada dukungan
dana. Bahkan ada kencenderungan yang masih kuat bahwaketerbatasan orangtua
dalam rnemberikan waktu untuk mendampingi belajar anak rata-rata disebabkan
oleh keterbatasan waktu dan kemampuan pengetahuan.
Dalam kaitannya dengan uraian di atas, bahwa kegagalan
kebijakan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan disebabkan kurang
menekankan pada analisis proses. Pemahaman terhadap kebijakan tidak bersifat
linear, tetapi dilihat sebagai proses yang dinamik daninteraktif yang diartikan
bahwa di setiap langkah, kegiatan proses dapat kembali ke langkah-langkah
sebelumnya, proses mengkaji ulang sebuah kebijakan dapat dilakukan
untukmendapatkan hasil yang optimal. Dalam hal ini, proses desentralisasi
pendidikan tidaklahberjalan semata-mata secara otomatis tetapi memerlukan
perubahan cara-cara pengelolaansebelumnya. Desentralisasi pendidikan memerlukan
persiapan yang matang karena akanmengubah sikap rakyat dalam pengelolaan
pendidikan.
G.
Rekonstruksi
Pendidikan yang Diperlukan
Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang
banyak membawa harapan bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang
banyak yang menaruh optimis jika pendidikan di Indonesia akan mengalami
perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Namun dalam praktiknya, masih banyak
kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan pendidikan nasional
Indonesia.Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial sehingga
menuai kritik.Mulai dari Ujian Nasional, kasus privatisasi pendidikan, subsidi
pendidikan setelah kenaikan BBM, kebocoran anggaran pendidikan, dan lain
sebagainya.Belum lagi jika berbicara tentang kualitas pendidikan.
Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak
harus disimpulkan gagal untuk dilaksanakan.Ada hal-hal yang merupakan kekuatan
dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan
hasil analisis SWOT yang dilakukan Ulul
Albab terhadap implementasi kebijakan
desentralisasi pendidikan di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan
kajian kualitatif, bukan kuantitatif.Analisis ini dibuat dengan merujuk
hasil-hasil kajian dan referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah
ada, termasuk buku dan publikasi yang relevan. Berikut ini hasil
identifikasinya melalui analisis SWOT.
a.
Strength (Kekuatan)
Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan
desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat
diidentifikasikan sebagai faktor kekuatan, yaitu:
1.
Secara politis kebijakan
desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan
kebijakan yang populis.
2.
Proses kelahirannya dikawal
sedemikian rupa oleh para pakar pendidikan dan digiring sedemikian rupa menjadi
agenda pemerintah oleh kalangan politisi, baik yang ada di parlemen maupun yang
ada di partai politik.
3.
Jiwa dan ruh kebijakan
desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam
menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki
kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi.
4.
Adanya dukungan anggaran yang cukup
besar bagi pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana dicerminkan dalam APBN
sejak tahun 2003. Yaitu bahwa anggaran untuk sektor pendidikan secara nasional
adalah 20% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2003.
5.
Kebijakan ini merupakan bentuk nyata
dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing.
b.
Weakness (Kelemahan)
Disamping adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan
di atas, kebijakan ini juga memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah:
1.
Tidak meratanya kemampuan dan
kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi
pendidikan, khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk
wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh
justru cenderung menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
2.
Tidak meratanya kemampuan keuangan
daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di
daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3.
Belum adanya pengalaman dari
masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan
di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga
dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan
komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
4.
Belum bersihnya aparat birokrasi
dari mentalitas dan budaya korupsi.
5.
Belum jelasnya pos-pos anggaran
untuk pendidikan.
c. Opportunity (Peluang)
Berikut ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat
dapat menjadi faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan
desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.
Adanya semangat yang kuat dari
masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena
munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak.
2.
Adanya semangat dari kalangan
masyarakat untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi
pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga
non-pemerintah yang merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan
kebijakan ini.
d. Threat
(Ancaman/Tantangan)
Selanjutnya adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang
diduga menjadi faktor ancaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi
pendidikan, yaitu:
1.
Tidak meratanya hasil prestasi
pendidikan dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi
kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah
daerah, maupun dibandingkan dengan daerah yang lain.
2.
Faktor tidak meratanya kualitas guru
di masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman.
Melalui analisis SWOT di atas, tampak bahwa sebenarnya
system pendidikan melalui desentralisasi memliki kesempatan dan kekuatan untuk
dapat berkembang.Untuk itu, sepertinya pemerintah perlu berbenah diri dalam
memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi
menciptakan pendidikan yang berkualitas melalui upaya suatu rekonstruksi
pendidikan.
Rekonstruksi pendidikan diperlukan agar perubahan kebijakan
berhasil secara optimal, sebagaimana dijelaskan oleh Sidi (dalam E. Mulyasa)
meliputi:
1.
Upaya untuk peningkatan mutu pendidikan
dilakukan dengan memantapkan tujuan dan standar kompetisi pendidikan, yaitu
melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat.
Standar kompetensi mungkin akan berbeda antar sekolah antar daerah akan
menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal normal
dan unggulan.
2.
Peningkatan efisiensi pengelolaan
pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan
memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
3.
Peningkatan relevansi pendidikan
mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orangtua
pada level pengambilan (pengambilan keputusan) dan level operasional melalui
komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas kepala sekolah, guru, senior,
wakil orangtua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa. Peran komite meliputi
perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program kerja sekolah.
4.
Pemerataan pelayanan pendiclikan
mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan
formflla pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu
pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal, serta
pemerataan
pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan memerlukan the
stakeholder society, yang oleh Ackennan dan Alscott sebagaimana dikutip oleh
Dwiyanto, yang diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para
anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri.
Terdapat lima pemain dalam the stakeholder society, yaitu: 1) masyarakat lokal;
2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional pendidikan.
Maka, fungsi negara bukan lagi sebagai penguasa juga bukan sebagai pemegang
kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai
partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang disepakati bersama. Tugas
negara antaralain membantu adanya standar nasional bahkan internasional dar
lembaga-lembagapendidikan dan membantu daerah-daerah lain yang kekurangan
smnber daya manusia dan sumber pembiayaan.
BAB
III
KESIMPULAN
Pelaksanaan
otonomi daerah merupakan momentum yang sangat tepat untuk mereformasi
penyelenggaraan pendidikan dari aspek birokrasi, pendanaan, dan manajemen
pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan
proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi juga harus menyentuh
pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah dalam menentukan
kebijakan-kebijakan organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru,
struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan
sekolah.
Tapi
tentu saja setiap kebijakan yang dibuat, tentu tak lepas dari permasalahan di
sana-sini.Begitu juga dengan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan
di Indonesia yang tak terlepas dari plus-minusnya.Meski begitu, bukan serta merta
kebijakan desentralisasi pendidikan mesti disimpulkan sebagai produk yang gagal
untuk dilaksanakan.Karena ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi
keberhasilan implementasi dari desentralisasi pendidikan tersebut.Yang perlu
dilakukan adalah senantiasa melakukan pembenahan dan penyempurnaan dari semua
pihak yang terlibat; baik langsung maupun tidak langsung dengan dunia
pendidikan.Sehingga tujuan mulia dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan di
tanah air benar-benar dapat terwujud dengan sempurna.
Daftar
Pustaka
Hamzah B. Uno 2008.
Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan diIndonesia ,
Jakarta : PT Bumi Aksara,
H.A.R. Tilaar. 2009. Kekuasaan
dan Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Kuswandi, Aos. Jurnal
Pascasarjana :GOVERNANCE Vol. 2, No. 1, November 2011. Diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19719&val=1237 tanggal
4 Oktober 2015.
Romli, Lili, 2007,
Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal,
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mulyasa.(2006).
Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 6-7.
Purwanto, Erwan Agus
(2005). Mewujudkan Good Governace: Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Rasyid, Lia. Diakses
dari
https://www.academia.edu/10056127/ANALISIS_DESENTRALISASI_PENDIDIKAN_TERHADAP_IMPLEMENTASI_MANAJEMEN_BERBASIS_SEKOLAH_MBS_PADA_SEKOLAH_MENEGAH_PERTAMA_DI_KABUPATEN_HALMAHERA_SELATAN.
Tanggal 5 oktober 2015
Rifai, Muhammad. 2011. Politik Pendidikan
Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Siti Irene (2009), Desentralisasi dan
Partisipasi Pengelalaan Pendidikan, Yogyakarta: FIP UNY. Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20%20Siti%20Irene%20Astuti%20D,%20M.Si./DESENTRALISASI%20PENDIDIKAN%20DAN%20PERAN%20BAGI%20PEMBANGUNAN%20PENDIDIKAN%20INDONESIA.pdfntanggal
4 Oktober 2015.
Suryosubroto, 2004.Manajemen Pendidikan di
Sekolah. Jakarta: Renika Cipta
Umiarso dan Gojali, Imam.2010. Manajemen Mutu
Sekolah di Erra Otonomi Pendidikan. Yogyakarta: IRCIsoD
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
KEPEMIMPINAN SEKOLAH YANG EFEKTIF
Oleh:
NAMA :DIAN KURNIAWAN
NIM :82321415044
NAMA :ASEP SUANDI
NIM :82321415040
BAB I
PENDAHULUAN
Kepemimpinan atau kegiatan memimpin merupakan usaha
yang dilakukan oleh seseorang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk
mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan orang-orang
lain agar mereka mau bekerja dengan penuh semangat dan kepercayaan dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan misi pendidikan, kepemimpinan
bisa diartikan sebagai usaha kepala sekolah dalam mempengaruhi, mendorong,
membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan staf sekolah agar dapat bekerja
secara efektif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang
telah ditetapkan (Burhanuddin, 2002:52).
Kepala sekolah merupakan jabatan
karir yang diperoleh seseorang setelah sekian lama menjabat sebagai guru.
Seseorang diangkat dan dipercaya menduduki jabatan kepala sekolah harus
memenuhi kriteria-kriteria yang disyaratkan untuk jabatan dimaksud. Davis, G.A.
& Thomas, M.A. berpendapat bahwa kepala sekolah yang efektif mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1)
Mempunyai jiwa kepemimpinan dan mampu memimpin sekolah,
2)
Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah,
3)
Mempunyai keterampilan sosial, dan
4)
Profesional dan kompeten dalam bidang tugasnya.
Pemimpin organisasi, terutama dalam
bidang pendidikan setidaknya mempunyai ciri-ciri:
1) Mampu mengambil keputusan,
2) Mempunyai kemampuan hubungan manusia,
3) Mempunyai keahlian dalam berkomunikasi,
dan
4) Mampu memberikan motivasi kerja kepada
bawahannya
(Siagian, S.P., 1986).
Sedangkan De Roche, E.F. (1985 dalam
Wahyudi, 2009:63) berpendapat bahwa kepala sekolah (principal) sebagai
pemimpin dan administrator pendidikan harus mempunyai kemampuan:
1)
Mempunyai sifat-sifat kepemimpinan,
2)
Mempunyai harapan tinggi (high expectation) terhadap sekolah,
3)
Mampu mendayagunakan sumberdaya sekolah,
4)
Profesional dalam bidang tugasnya.
Berdasarkan pendapat di atas,
jabatan kepala sekolah memerlukan orang-orang yang mampu memimpin sekolah dan
profesional dalam bidang kependidikan. Namun kenyataan di lapangan membuktikan
bahwa tidak semua kepala sekolah memenuhi kriteria yang ditentukan, tetapi
lebih mengutamakan pada golongan ataupun kepangkatan yang dijalani melalui masa
kerja.
Berkaitan dengan kemampuan
profesional, Supriadi, (dalam Wahyudi, 2009: 64) berpendapat bahwa, pekerjaan
profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan
latihan yang lama dan intensif pada lembaga yang mendapat pengakuan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian jabatan kepala sekolah merupakan jabatan
yang dipersiapkan agar calon kepala sekolah mempunyai bekal kemampuan
profesional yang cukup untuk memimpin sekolah.
Peranan kepala sekolah sebagai administrator, sebagai
manajer, dan sebagai supervisor pendidikan perlu dilengkapi dengan keterampilan
manajerial. Terdapat tiga bidang keterampilan manajerial yang perlu dikuasai
oleh manajer pendidikan dengan mengacu pada pendapat Robert Katz (dalam
Wahyudi, 2009:64) yaitu keterampilan konseptual (conceptual skill), keterampilan
hubungan manusia (human skill), keterampilan teknik (technical
skill). Ketiga keterampilan manajerial tersebut diperlukan untuk
melaksanakan tugas manajerial secara efektif, meskipun penerapan masing-masing
keterampilan tersebut tergantung pada tingkatan manajer dalam organisasi.
Fungsi kepemimpinan pendidikan menunjuk kepada
berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala sekolah
dalam upaya menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat
lain agar mau berbuat sesuatu guna menyukseskan program-program pendidikan di
sekolah. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan kepemimpinan pendidikan di
sekolah, pada pokoknya kepala sekolah harus melakukan ketiga fungsi berikut:
1) Membantu guru-guru memahami,
memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai;
2) Menggerakkan guru-guru, karyawan,
siswa, dan anggota masyarakat untuk menyukseskan program-program pendidikan di
sekolah; dan
3) Menciptakan sekolah sebagai suatu
lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap
anggota sekolah dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh
kepuasan kerja yang tinggi.
Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang
sangat penting karena dialah yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan
program pendidikan di sekolah. Dapat dilaksanakan atau tidaknya suatu program
pendidikan dan tercapai tidaknya tujuan pendidikan, sangat bergantung pada
kecakapan dan kebijaksanaan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.
Thownsend (dalam Arifin, 1998) menegaskan bahwa
kepemimpinan kepala sekolah mempunyai andil yang sangat besar dalam menjalankan
kegiatan di sekolah. Kepala sekolah yang efektif merupakan pemimpin yang kuat
dengan harapan yang tinggi tetapi tetap realistik terhadap situasi dan kondisi
di sekolahnya. Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan sangat
menentukan dalam menunjang keberhasilan suatu sekolah menuju sekolah yang
efektif.
Wahjosumidjo (2002) berpendapat bahwa kepala sekolah
sebagai pemimpin pendidikan bertanggung jawab dalam menggerakkan seluruh sumber
daya yang ada di sekolah, sehingga lahir etos kerja dan produktifitas yang
tinggi dalam mencapai tujuan. Disamping itu, kepala sekolah juga berperan untuk
melakukan kontrol segala aktifitas guru, staf, dan siswa dan sekaligus untuk meneliti
persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan sekolah.
Kepemimpinan kepala sekolah juga berperan sebagai
motor penggerak bagi sumber daya sekolah terutama para guru dan karyawan
sekolah, sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh
kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Semangat kerja guru
dan bawahan lainnya, banyak tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah. Para
guru/ pegawai akan bekerja dengan baik dan para siswa akan bisa belajar dengan
tenang, apabila kepala sekolah mampu mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, dan
menggerakkan mereka ke arah pencapaian tujuan sekolah secara efektif.
Arifin (1998) menyimpulkan dua peran utama kepala
sekolah yaitu sebagai administrator dan pemimpin pendidikan. Sebagai manajer/administrator,
kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi administrasi pendidikan di
sekolah yang meliputi pengelolaan yang bersifat administratif dan operatif.
Sedangkan sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah bertugas untuk
mendinamisasikan proses pengelolaan pendidikan baik secara administratif
(pengarahan seluruh warga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah) maupun
edukatif (pengarahan/pembinaan tugas pengajaran serta semangat guru untuk
mencapai kinerja yang lebih baik).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kepala sekolah mempunyai tugas atau peran ganda sebagai administrator (school
manager) dan pemimpin pendidikan (educational leader). Tugas ganda
tersebut sulit dipisahkan karena keduanya merupakan komplemen yang saling menyeimbangkan.
Menurut Sergiovanni (1991) keberhasilan kepala sekolah dalam tugas administrasi
dan kepemimpinan pendidikan memiliki satu arah tujuan untuk perbaikan
pengajaran dan pembelajaran siswa (the improvement of teaching and learning
for students).
Sementara itu, seiring dengan munculnya semangat baru
desentralisasi persekolahan mendorong kepala sekolah untuk lebih menekankan
fungsinya sebagai pemimpin pendidikan daripada administrator. Sejalan dengan
itu, Sergiovanni (dalam Burhanuddin, 2001) berpendapat bahwa kebutuhan akan
kepemimpinan pendidikan yang efektif lebih ditekankan pada peningkatan kualitas
sekolah.
Dengan demikian, dapat digaris bawahi bahwa
kepemimpinan yang efektif sangat diperlukan bagi peningkatan keefektifan
sekolah. Atau dengan kata lain kepala sekolah harus bisa bertindak sebagai
pemimpin yang efektif agar mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan
tanggung jawabnya untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.
Dalam rangka melakukan peran dan
fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat
untuk mendayagunakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau koperatif,
memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan
profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam
berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Pertama, memberdayakan tenaga kependidikan
melalui kerjasama atau koperatif dimaksudkan bahwa dalam peningkatan
profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah, kepala sekolah harus mementingkan
kerjasama dengan tenaga kependidikan dan pihak lain yang terkait dalam
melaksanakan setiap kegiatan.
Kedua, memberi kesempatan kepada para
tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, sebagai manajer, kepala
sekolah harus meningkatkan profesi secara persuasif dan dari hati kehati.
Ketiga, mendorong keterlibatan seluruh
tenaga kependidikan, dimaksudkan bahwa kepala sekolah harus berusaha untuk
mendorong keterlibatan semua tenaga kependidikan dalam setiap kegiatan di
sekolah (partisipatif), dalam hal ini kepala sekolah bisa berpedoman pada asas
tujuan, asas keunggulan, asas mupakat, asas kesatuan, asas persatuan, asas
empirisme, asas keakraban, dan asas integritas.
BAB II
KEPALA SEKOLAH YANG EFEKTIF
2.1 Kepemimpinan Efektif Di Sekolah
Untuk mewujudkan sekolah efektif hanya
mungkin didukung oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang efektif.
Fred M. Hechinger (dalam Davis & Thomas, 1989: 17) pernah menyatakan:
“Saya tidak
pernah melihat sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk dan
sekolah buruk dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk. Saya juga menemukan
sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses
tiba-tiba menurun kualitasnya. Naik atau turunnya kualitas sekolah sangat
tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya”.
Pandangan tersebut menganjurkan kepada
para kepala sekolah untuk memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin
pendidikan secara cermat.
Kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan harus berupaya mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dalam
mengelola perubahan yang terjadi di sekolah. Melihat posisinya sebagai top leader, kepala sekolah efektif akan
menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan reformasi pendidikan pada tingkat
sekolah.
Mengingat
tugas kepemimpinan yang kompleks, pengertian kepemimpinan tidak dapat dibatasi
secara pasti, termasuk pengertian kepemimpinan efektif di sekolah. Namun,
sejumlah rujukan menjelaskan bahwa kepemimpinan efektif di sekolah dapat
berkait dengan kepemimpinan kepala sekolah di sekolah yang efektif. Atas dasar
pandangan ini, maka kepemimpinan efektif di sekolah dapat dimengerti sebagai
bentuk kepemimpinan yang menekankan kepada pencapaian prestasi akademik dan non
akademik sekolah. Dengan demikian, pemimpin pendidikan efektif selalu berkonsentrasi
untuk menggerakkan faktor-faktor potensial bagi ketercapaian tujuan sekolah.
Sebagai
pemimpin pendidikan pula, kepala sekolah efektif mampu menunjukkan kemampuannya
mengembangkan potensi-potensi sekolah, guru, dan siswa untuk mencapai prestasi
maksimal.
kepala
sekolah efektif sebagai pemimpin pendidikan selayaknya harus mampu meningkatkan
prestasi sekolah dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengelola sekolah, guru,
dan siswa sebagai komponen utama untuk mencapai tujuan sekolah.
v Pengelolan yang terkait dengan komponen sekolah dapat
meliputi:
(a)
kurikulum praktis dan mantap;
(b) tujuan
yang menantang dan balikan yang efektif;
(c)
partisipasi orang tua dan masyarakat;
(d)
lingkungan yang tertib dan nyaman; dan
(e)
kolegialitas dan profesionalisme.
v Sementara, pengelolan yang terkait dengan komponen guru
dapat mencakup:
(a) strategi
instruksional;
(b)
manajemen kelas; dan
(c) desain
kurikulum.
v Adapun pengelolaan yang terakit dengan siswa mencakup:
(a)
lingkungan rumah;
(b)
kecerdasan belajar; dan
(c)
motivasi.
Ketiga
komponen tersebut bersifat interrelatif, oleh karenanya harus dikelola secara
sinergis dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip koordinasi, sinkronisasi,
dan integrasi.
Dari
berbagai pandangan di atas, dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan efektif adalah
kepemimpinan kepala sekolah yang memfokus kepada pengembangan instruksional,
organisasional, staf, layanan murid, serta hubungan dan komunikasi dengan
masyarakat. Sajian materi ini akan mendeskripsikan kepemimpinan efektif kepala
sekolah, ditinjau dari aktifitasnya dalam berkomunikasi, membangun teamwork, mengambil keputusan, menangani
konflik, dan memelihara budaya kerja di sekolah.
2.2 Ciri-ciri Kepala Sekolah Efektif
Kepala
sekolah efektif harus mengetahui (a) mengapa pendidikan yang baik diperlukan di
sekolah, (b) apa yang diperlukan untuk meningkatkan mutu sekolah, dan (c)
bagaimana mengelola sekolah untuk mencapai prestasi terbaik. Kemampuan untuk
menguasai jawaban atas ketiga pertanyaan ini akan dapat dijadikan standar
kelayakan apakah seseorang dapat menjadi kepala sekola efektif atau tidak.
Secara
umum, ciri dan perilaku kepala sekolah efektif dapat dilihat dari tiga hal
pokok, yaitu: (a) kemampuannya berpegang kepada citra atau visi lembaga dalam
menjalankan tugas; (b) menjadikan visi sekolah sebagai pedoman dalam mengelola
dan memimpin sekolah; dan (c) memfokuskan aktifitasnya kepada pembelajaran dan
kinerja guru di kelas (Greenfield, 1987; Manasse, 1985). Adapun secara lebih
detil, deskripsi tentang kualitas dan perilaku kepala sekolah efektif dapat
diambil dari pengalaman riset di sekolah-sekolah unggul dan sukses di negara
maju.
Atas
dasar hasil riset tersebut, dapat dijelaskan ciri-ciri sebagai berikut:
·
Kepala
sekolah efektif memiliki visi yang kuat tentang masa depan sekolahnya, dan ia
mendorong semua staf untuk mewujudkan visi tersebut
·
Kepala
sekolah efektif memiliki harapan tinggi terhadap prestasi siswa dan kinerja
staf
·
Kepala
sekolah efektif tekun mengamati para guru di kelas dan memberikan balik yang
positif dan konstruktif dalam rangka memecahkan masalah dan memperbaiki
pembelajaran
·
Kepala
sekolah efektif mendorong pemanfaatan waktu secara efisien dan merancang
langkah-langkah untuk meminimalisasi kekacauan
·
Kepala
sekolah efektif mampu memanfaatkan sumber-sumber material dan personil secara
kreatif
·
Kepala
sekolah efektif memantau prestasi siswa secara individual dan kolektif dan
memanfaatkan informasi untuk mengarahkan perencanaan instruksional.
Di
sisi lain, kepala sekolah yang tidak efektif biasanya:
1.
Membatasi
perannya sebagai manajer sekolah dan anggaran
2.
Menjaga dokumen,
sangat disiplin
3.
Berkomunikasi
dengan setiap orang sehingga memboroskan waktu dan tenaga
4.
Membiarkan
guru mengajar di kelas
Memanfaatkan
waktu hanya sedikit untuk urusan kurikulum dan pembelajaran (Martin &
Millower, 1981; Willower & Kmetz, 1982).
2.3
Kegiatan Kepimimpinan Kepala Sekolah Efektif
Dalam
menjalankan perannya sebagai pemimpin yang efektif di sekolah, selama periode
kepemimpinannya kepala sekolah dapat melaksanakan hal-hal berikut.
1.
Tahun Pertama
Dalam tahun
pertama masa bakti kepemimpinannya, kepala sekolah efektif dapat melakukan
hal-hal berikut:
a.
Menerima
tanggungjawab sebagai kepala sekolah. Jika masih menekankan kepada administrasi
dan disiplin, membiarkan guru mengajar di kelas, maka ia perlu merubah
wawasannya menuju manajemen sekolah efektif
b.
Menetapkan tujuan
dan menetapkan norma-norma atas dasar kebijakan yang telah digariskan oleh
dinas pendidikan, nilai masyarakat, dan tentunya visinya sendiri tentang
sekolah unggul
c.
Berkonsentrasi
kepada upaya-upaya pembelajaran dan mulai melakukan kunjungan kelas
d.
Mengembangkan
aktifitas dan struktur sesuai dengan tujuan, norma, dan maksud pendidikan
e.
Menyusun kalender
akademik untuk menghindari hambatan belajar siswa, waktu perencanaan guru, dan
seterusnya
f.
Mendukung
saluran-saluran untuk melakukan komunikasi terbuka, pengambilan keputusan, dan
problem-solving. Berusaha untuk memantapkan atmosfir kolegial
g.
Memperhatikan
pertemuan dewan guru dalam memecahkan persoalan
h.
Merencanakan
pementapan dan orientasi akademik
i.
Merencanakan sistem
pemberian penghargaan bagi siswa dan staf
j.
Berinisiatif
membangkitkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat
2.
Tahun Kedua
Di tahun
kedua ini, kepala sekolah efektif menindaklanjuti ide-ide pada tahun pertama
dengan kegiatan nyata, termasuk:
a.
Memantapkan iklim
akademik sekolah, harapan berprestasi tinggi dalam keterampilan dasar,
penilaian kemajuan, dan prestasi siswa. Minat staf harus dikonsentrasikan ke
hal-hal tersebut
b.
Mendorong kepekaan
sekolah terhadap masyarakat
c.
Mentransformasi visi
sekolah efektif kepada staf, siswa, dan orang tua
d.
Beralih dari fokus
persoalan yang sempit menuju orientasi program yang lebih luas
e.
Tampil percaya diri
dan lebih visibel di jalan, kelas, halaman sekolah, dan masyarakat
f.
Berinisiatif
melakukan observasi kelas dan kegiatan supervisi instruksional
g.
Menjadwal peristiwa
pelatihan instruksional
h.
Memberi dukungan
secara kontinyu kepada staf selama sesuai dengan tujuan sekolah yang lebih luas
i.
Menjalin hubungan
yang baik dengan komunitas sekolah, termasuk staf, siswa, orang tua, dan
lingkungan; selalu memperlakukan staf, siswa, orang tua, dan pihak lain dengan
rasa hormat.
3.
Tahun Ketiga
Pada tahun
ketiga ini, kepala sekolah efektif pada dasarnya menyempurnakan implementasi
perubahan iklim dan prosedur sekolah dan melanjutkan reformasi. Dalam hal ini,
kepala sekolah dapat melakukan hal-hal berikut:
a.
Melanjutkan
menyusun dan mentransformasi tujuan personal dan sekolah yang sejalan dengan
pemerintah
b.
Memantau proses dan
program instruksional
c.
Mengkoordinasikan
program instruksional, dengan memantapkan prestasi
d.
Mengambil peran
penting dalam pengembangan program dan evaluasi dan keputusan tentang seleksi
materi instruksional
e.
Merencanakan dan
menjadwal untuk penggunaan material dan sumber daya personil secara optimal
f.
Mengorganisasi
pelatihan inservice guru dalam bidang khusus dan teknik pengelolaan kelas
g.
Tetap
mempertimbangkan riset yang relafan dan gagasan untuk kepemimpinan efektif,
sekolah efektif, dan pembelajaran efektif
h.
Menyempurnakan
standar kinerja guru, siswa, staf, dan diri sendiri.
2.4
Indikator Kinerja Kepala Sekolah Efektif
Berdasarkan
langkah-langkah reformatif dan analisis obyektif, maka dapat dikemukakan
indikator-indikator kinerja kepala sekolah efektif di era global sebagai
berikut:
1.
Mewujudkan proses pembelajaran yang efektif, yang mencakup
aktifitas-aktifitas:
a.
Menciptakan situasi kelas yang kondusif
b.
Menumbuhkan siswa (sikap) aktif, kreatif, kritis, dan memahami materi
ajar
c.
Menumbuhkan rasa percaya diri dan saling menghargai sesama
d.
Memotivasi kemampuan siswa untuk menggunakan media pembelajaran
e.
Siswa memiliki sumber belajar
2.
Menerapkan system evaluasi yang efektif dan
melakukan perbaikan secara berkelanjutan, dengan menyiapkan dan melaksanakan:
a.
Adanya jadwal evaluasi terprogram
b.
Alat evaluasi yang standard
c.
Analisa hasil evaluasi/belajar
d.
Pelaksanaan program perbaikan, pengayaan, dan
penghargaan yang berkelanjutan.
e.
Penerapan tutor sebaya/Team Teaching
f.
Penulisan kisi-kisi, soal yang profesional
3.
Melakukan refleksi diri ke arah pembentukan karakter kepemimpinan sekolah
yang kuat, yang ditunjukkan dengan:
a.
Dapat memberi keteladanan
b.
Komitmen terhadap tugas
c.
Kebersamaan/kekompakan dalam melaksanakan tugas
d.
Implementasi Imtaq/amaliah
4.
Melaksanakan pengembangan staf yang kompeten dan
berdedikasi tinggi, melalui:
a.
Pemberian penghargaan
dan sanksi yang tepat
b.
Pemberian tugas
yang adil dan merata sesuai dengan kemampuan
c.
Memberikan
kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas
5.
Menumbuhkan sikap responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, dengan:
a.
Senantiasa
mengikuti perkembangan IPTEK dalam PBM (Sarana dan Metode)
b.
Membiasakan warga
sekolah berkomunikasi dalam bahasa Inggris (Bahasa Asing)
c.
Membudayakan sikap
selalu ingin maju
d.
Memperluas kerja
sama dengan pihak luar dalam rangka otonomi sekolah
e.
Mengadopsi
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu di segala bidang
6.
Menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib (Safe and Orderly), dengan:
a.
Memantapkan tata
tertib yang tegas dan konsekuen
b.
Kerjasama yang baik
antara sekolah, masyarakat sekitar dan aparat keamanan
c.
Menjadikan sekolah
yang bebas dari rokok dan Narkoba
d.
Menciptakan rasa
kekeluargaan yang tinggi di antara warga sekolah (5 S = Salam, Sapa, Sopan,
Senyum, Silaturahim)
e.
Menciptakan nuansa
sekolah yang aman, tenteram dan damai (Taman, Penghijauan, Musik, yang halus)
7.
Menumbuhkan budaya mutu di lingkungan sekolah, dengan cara:
a.
Memberikan reward
kepada guru, siswa yang berprestasi
b.
Memberdayakan MGMP
tingkat sekolah/Hari MGMP/Sabtu
c.
Mewajibkan warga
sekolah untuk memberdayakan perpustakaan/sumber belajar lainnya
d.
Peningkatan
kualitas kehidupan beragama
e.
Memiliki target
mutu yang tinggi dan slogan /motto
f.
Menanamkan rasa
memiliki pada warga sekolah
8.
Menumbuhkan harapan prestasi tinggi, dengan:
a.
Mengadakan lomba
cepat dalam kegiatan class meeting
b.
Membuat jadwal
rutin Olah Raga prestasi
c.
Mendorong siswa
untuk mengikuti perlombaan-perlombaan
d.
Memiliki komitmen
dan motivasi yang kuat
e.
Guru hams memiliki
komitmen dan harapan tinggi terhadap siswa
f.
Semua harus
memiliki motivasi tinggi untuk berprestasi
9.
Menumbuhkan kemauan untuk berubah, dengan:
a.
Mengikutsertakan
guru untuk menambah wawasan
b.
Pemberian motivasi
kerja yang tepat
c.
Memberikan
kesempatan untuk pengembangan/ peningkatan jenjang karir
d.
Melakukan pembinaan
10.
Melaksanakan Keterbukaan/Transparan Managemen
Sekolah, dengan cara:
a.
Membuat
Program kerja, yang melibatkan semua warga sekolah
b.
Sosialisasi Program
kerja
c.
Melaksanakan
Program
d.
Mengadakan
Pembinaan secara kontinue
e.
Membuat Laporan
hasil pelaksanaan secara periodik
f.
Mengadakan rapat
Evaluasi secara periodik
11.
Menetapkan secara jelasmewujudkanVisi dan Misi, dengan:
a.
MemberdayakanseluruhkomponensekolahdalammenyusunVisisekolah
b.
MelibatkansemuakomponensekolahdalammenjabarkanVisikedalamindikator
yang jelas
c.
MenyusunMisiRealistis
yang terdiridarijangkapendek, menengah dan PanjanguntukmencapaiVisi, denganmelibatkansemuakomponensekolah
12.
Melaksanakanpengelolaantenagakependidikan secara efektif, dengan:
a.
Memberdayakandisiplinguru
dan karyawan
b.
Membudayakan
pelayanan prima
c.
Meningkatkan
profesionalisme guru dan karyawan melalui pelatihan-pelatihan atau lainnya
d.
Meningkatkan
kesejahteraan guru dan karyawan
e.
Menciptakan iklim
kerja yang kondusif dan kompetitif yang sehat dengan memberikan penghargaan dan
sanksi
13.
Melaksanakan pengelolaan sumber belajar secara efektif, dengan:
a.
Menginfentarisir
semua sumber-sumber belajar, di dalam dan di luar sekolah
b.
Menentukan sumber
belajar yang efektif sesuai
kemampuan sekolah
c.
Pengadaan
sumber-sumber belajar sesuai kemampuan
d.
Sosialisasi
pemanfaatan semua sumber belajar
e.
Merencanakan
pemanfaatan sumber belajar
14.
Melaksanakan pengelolaan kegiatan kesiswaan/ Ekstrakurikuler secara
efektif, dengan:
a.
Menginfentarisir
sarana prasarana ekstrakurikuler
b.
Menginfentarisir
minat dan bakat siswa
c.
Mencari peluang
kerjasama dengan pihak lain
d.
Mencari peluang
pengadaan dana dari donatur
e.
Menentukan jenis-jenis
ekstrakurikuler
15.
Mengembangkan
kepemimpinan instruksional, dengan cara:
a.
Mendorong murid untuk bekerja keras mencapai standar prestasi
nasional.
b.
Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program instruksional untuk
memastikan bahwa kurikulum dan pembelajaran efektif telah diterapkan, didukung
dengan penggunaan strategi penilaian secara tepat.
c.
Mengajak semua pihak terkait di sekolah melaksanakan pengambilan
keputusan yang didasarkan kepada visi, misi, dan prioritas program.
d.
Memantapkan dan mempertahankan harapan berprestasi yang tinggi
kepada murid secara rutin dengan melakukan best
practices dalam kepemimpinan, pembelajaran, dan perbaikan instruksional.
e.
Bekerjasama dengan para guru dan staf dalam mengidentifikasi
sumber-sumber dan materi sesuai dengan kemampuan anggaran.
f.
Bekerjasama dengan guru dan staf dalam memperbaiki dan menetapkan
kalender akademik.
2.5 Standar Kepemimpinan Efektif
Pada dasarnya kepemimpinan
efektif dapat dilihat dari tujuh perilaku kepala sekolah untuk: (a) menerapkan
kepemimpinan sekolah efektif, (b) melaksanakan kepemimpinan instruksional, (c)
memelihara iklim belajar yang berpusat pada siswa, (d) mengembangkan
profesionalitas dan mengelola SDM, (e) melibatkan orang tua dan menjalin
kemitraan dengan masyarakat, (f) mengelola sekolah secara efektif dan
melaksanakan program harian, dan (g) melaksanakan hubungan interpersonal secara
efektif.
Kepemimpinan di sekolah
dapat mencakup serangkaian kegiatan kepala sekolah dalam memimpin institusi
sekolah dengan cara membangun teamwork yang kuat, mengelola tugas
dan orang secara bertanggungjawab, dan melibatkan sejumlah pihak terkait dalam
pelaksanaan visi sekolah.
Untuk membangun tim, kepala sekolah
dapat melakukannya dengan:
a.
Mendorong dan merespon masukan dari anggota tim
b.
Bekerjasama dengan staf dan murid memantapkan dan membangun tim di
sekolah
c.
Membantu tim menyusun tujuan
d.
Memfokuskan tim kepada pencapaian tujuan yang spesifik dan terukur
Koordinasi dapat
dilakukannya dengan menjalin kerjasama dengan instansi terkait, melibatkan
guru, staf, orang tua, dan masyarakat secara tepat dalam pengambilan keputusan.
Adapun implementasi visi sekolah dapat dilakukan dengan cara mengembangkan visi
sekolah bersama stakeholders, mengarahkan pelaksanaan program sesuai dengan
visi sekolah, dan mengkomunikasikan dan menunjukkan visi dalam rangka
peningkatan mutu sekolah.
Kepemimpinan instruksional
ditunjukkan kepala sekolah dalam berusaha mendorong kesuksesan semua murid
dengan menciptakan program instruksional yang mendorong perbaikan proses
belajar dan mengajar. Tiga hal penting yang menjadi perhatiannya berupa
asesmen, kurikulum, dan pembelajaran. Dalam asesmen, kepala sekolah (1)
mengarahkan evaluasi belajar siswa dengan menggunakan beragam teknik dan sumber
informasi; (2) menganalisis data siswa, staf, dan masyarakat untuk pengambilan
keputusan; (3) memanfaatkan data sekolah dan siswa untuk membuat program
layanan murid dan kurikulum; dan (4) memantau kemajuan belajar siswa, didukung
dengan laporan sistematis tiap bulan.
Kepala sekolah juga
menyiapkan tim untuk pengembangan kurikulum, menggunakan hasil penelitian,
keahlian guru, dan rekomendasi kalangan profesional untuk membuat keputusan
kurikuler, dan bekerjasama dengan staf untuk menyesuaikan pelaksanaannya dengan
standar nasional. Terkait dengan pembelajaran, kepala sekolah memperbaikinya
dengan memantau semua kelas dan sekolah, mendorong penggunaan metode mengajar
yang inovatif dan mendorong guru mencobakan program inovatif yang melibatkan
murid, serta menyiapkan program untuk memenuhi kebutuhan pendidikan khusus dan
kecakapan murid yang terbatas.
Jabatan Kepala Sekolah merupkan jabatan
strategis dalam pembinaan anak , khusunya calon calon generasi penerus bangsa,
Untuk menjalankan tugasnya seorang
kepala sekolah dipelukan komitmen yang dapat dijabarkan dalam bentuk etika
jabatan.
Etika
jabatan kepala sekolah dimaksudkan sebagai jabatan dan perilaku standar kepala
sekolah dalam menjalankan tugas.
v Tugas dan
tanggung jawab kepala sekolah dalam kepemimpinan dirumuskan dalam 12 langkah kepemimpinan
a.
tahu misi dan tugas
pokoknya
b.
tahu
jumlah pembantunya
c.
tahun
nama nama pembantunya
d.
tahu
tugas masing masing pembantunya
e.
memperhatikan
kehadiran pembantunya
f.
memperhatikan
peralatan yang dipakai pembantunya
g.
menilai
pembantunya
h.
mengambil
tindakan tindakan
i.
memperhatikan
karier pembatunya
j.
memperhatikan
kesejahteraan
k.
menciptakan
suasana kekeluargaan
l.
memberikan
laporan kepada atasannya
v
Sikap
dan perilaku yang perlu dimiliki kepala sekolah
a.
Tidak melaksanakan
kegiatan sekedar meyelesaikan kegiatan, tetapi harus selalu jelas makna ( value)
dan kaitanya terhadap peningkatan mutu tamatan.
b.
Tidak sekedar
reaktif ( hanya melaksanakan kegiatan jika ada petunjuk) tetapi harus proaktif
( berinisiatif melakukan sesuatu yang diyakini baik) .untuk peningkatan mutu
pendidikan di sekolah.
c.
Tidak bersikap bossy ( pejabat yang hanya mau dihormati
dan dipatuhi) tetapi harus menjadi leader yang komunikatif dan menjadi
motivator bagi stafnya untuk lebih berprestasi.
d.
Tidak menjadi pejbat yang tanpa misi, tetapi harus
memiliki tekat kuat untuk mencapai sesuatu yang bermakna selama dipercaya
menduduki suatu jabatan
e.
Tidak masa bodoh terhadap suatu yang kurang pas, tetapi
harus memiliki kepekaan dan merasa ikut bersalah serta berusaha untuk
mengoreksinya.
f.
Tidak membiarkan masalah berlarut larut tanpa
penyelesaian, tetapi harus memiliki kemauan dan keberanian untuk menuntaskannya.
g.
Tidak bersikap
permisif (mudah mengerti, maklum dan memaaflan kesalahan) tetapi harus berani
mengoreksi secar tegas dan bertindak secar bijaksana.
h.
Tidak menyepelekan disiplin waktu dan hanya menyalahkan
orang lain yang tidak disiplin, tetpi benar benar menyadari bahwa disiplin
adalah kunci keberhasilan.
i.
Tidak menjadi pejabat yang hanya menikmati jabatan, tetapi
harus menjadi pejabat yang memiliki tanggung jawab terhadap jabatan yang
dipercayakan kepadanya.
BAB III
KESIMPULAN
Melihat
posisinya sebagai top leader, kepala
sekolah efektif akan menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan reformasi
pendidikan pada tingkat sekolah, kepemimpinan efektif di sekolah dapat dimengerti
sebagai bentuk kepemimpinan yang menekankan kepada pencapaian prestasi akademik
dan non akademik sekolah.
Kepemimpinan efektif
adalah kepemimpinan kepala sekolah yang memfokus kepada pengembangan
instruksional, organisasional, staf, layanan murid, serta hubungan dan
komunikasi dengan masyarakat.
Kepala sekolah
efektif sebagai pemimpin pendidikan harus mampu meningkatkan prestasi sekolah
dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengelola sekolah, guru, dan siswa
sebagai komponen utama untuk mencapai tujuan sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Adair, John. 1984. Menjadi Pemimpin Efektif. Jakarta: PT. Pustaka Binaman
Pressindo.
Drs.Suparlan,
M,Ed.”Membangun Sekolah Efektif”, 2008, Yogyakarta: HIKAYAT.
Prof.
Wahab, Abdul Aziz, ,” Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan
Pendidikan”, 2008, Bandung: Alfabeta.
Sumijo,
Wahyu, “Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik Dan Permasalahannya”,
2005, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asmani,
Jamal Ma’mur. 2009. Managemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan
Profesional Panduan Quality Kontrol Bagi Para Pelaku Lembaga Pendidikan.
Yogyakarta : Diva Pres.
Mulyadi. 2010. Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dalam Mengembangkan Budaya Mutu. Malang : UIN Maliki Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003.
Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.